Rabu, 05 Juli 2017

AL-HAWARY: MANHAJ SALAF DALAM MENYIKAPI KESALAHAN SEORANG ULA...

AL-HAWARY: MANHAJ SALAF DALAM MENYIKAPI KESALAHAN SEORANG ULA...: Seorang Ahlus Sunnah dihukumi sesuai dengan apa yang dominan pada dirinya. Jika kebaikannya lebih besar, maka dihukumi sebagai seorang ya...



Seorang Ahlus Sunnah dihukumi sesuai dengan apa yang dominan pada dirinya. Jika kebaikannya lebih besar, maka dihukumi sebagai seorang yang baik. Namun jika kejelekan dan kesalahannya yang lebih besar, maka dia dihukumi sebagai seorang yang jelek. Seorang Ahlus Sunnah yang jatuh dalam suatu kesalahan, maka kebaikan-kebaikannya yang lebih banyak telah menutupi kesalahannya.
Walaupun demikian, suatu kesalahan harus kita nyatakan sebagai kesalahan. Tidak boleh untuk diikuti apalagi dibela. Yang harus kita lakukan, meluruskan kesalahan yang ada pada saudara kita dengan cara yang baik. Kita tetap menghormati dan menjaga kedudukannya, serta tidak mengharamkan kebaikan yang ada pada dirinya berupa ilmu ataupun yang lain.
Menimbang kebaikan dan keburukan dalam menghukumi seorang merupakan manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ini bukanlah manhaj muwaazanah yang didengung-dengungkan oleh kelompok Sururiyyah. Karena muwaazanah yang dilarang dan bertentangan dengan manhaj Ahlus Sunnah, adalah ketika mentahdzir bukan ketika menghukumi.




Dua hal ini jelas-jelas berbeda. Bab tahkim ( menghukumi ) berbeda dengan bab tahdzir ( memperingatkan umat ). Dalam mentahdzir tidak disyaratkan untuk menyebutkan kebaikan orang yang ditahdzir. Karena hal itu akan menyebabkan tahdzirnya mengambang sehingga mengakibatkan hilangnya tujuan dari tahdzir itu sendiri. Adapun dalam menghukumi, wajib untuk menimbang antara keburuan dan kebaikan. Barokallohu fiikum
Bahkan seandainya kita dibebani untuk menghukumi sesuatu hanya dengan melihat sisi keburukannya saja, tanpa melihat sisi kebaikannya, kita tidak akan mampu melakukannya. Karena sesuatu yang belum tergambar secara utuh, tidak mungkin untuk dihukumi. Kalau dipaksakan, maka akan menghsilkan suatu hukum yang tidak adil/dzolim.
Alloh Ta’ala ketika akan menetapkan hukum haramnya khomer, menyebutkan sisi kerusakan dan kemanfaatannya terlebih dahalu. Kemudian Alloh menetapkan hukumnya dengan yang paling dominan dari keduanya. Alloh berfirman :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". [ QS. Al-Baqarah : 219 ].
Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- ketika menjalaskan sifat Khawarij kepada para sahabatnya, juga menyebutkan sisi kebaikan dan sisi keburukan mereka. Kemudian beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- menghukumi mereka dengan sisi keburukannya yang lebih dominan. Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ، وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
“Salah seorang dari kalian merasa rendah sholatnya bersama sholat mereka, puasanya bersama puasa mereka. ( akan tetapi ) mereka membaca Al-Qur’an tidak melewati kerongkongan mereka. Keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya”. [ HR. Al-Bukhari : 6163 dan Muslim : 1064 dari Abu Sa’id Al-Khudri –rodhiallohu ‘anhu- ].
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rohimahullah- ketika ditanya tentang Jama’ah Tabligh, beliau menyebutkan sisi kekurangan dan kebaikannya untuk menetapkan hukum atasnya. Syaikh –rohimahullah- berkata :
جماعة التبليغ ليس عندهم بصيرة في مسائل العقيدة، فلا يجوز الخروج معهم إلا لمن لديه علم وبصيرة بالعقيدة الصحيحة التي عليها أهل السنة والجماعة حتى يرشدهم وينصحهم ويتعاون معهم على الخير؛ لأنهم نشيطون في عملهم، لكنهم يحتاجون إلى المزيد من العلم، وإلى من يبصرهم من علماء التوحيد والسنة
“Jama’ah Tabligh, mereka tidak memiliki ilmu dalam masalah aqidah. Maka tidak boleh untuk keluar bersama mereka kecuali bagi seorang yang memiliki ilmu dan bashirah tentang aqidah shohihah yang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berjalan di atasnya, sehingga dia bisa menunjukkan dan manasihati mereka serta bisa bekerja sama di atas kebaikan.Karena mereka sangat giat dalam beramal. Akan tetapi mereka sangat membutuhkan kepada tambahan ilmu dan kepada seorang yang menjelaskan kepada mereka dari para ulama’ tauhid dan sunnah”. [ Majmu’ Fatawa : 8/331 ].
Pernah diajukan sebuah pertanyaan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rohimahullah- tentang jama’ah-jama’ah dan firqoh-firqoh yang ada saat ini. Berikut teks pertanyaan dan jawaban beliau –rohimahullah- :
س: الجماعات والفرق الموجودة الآن أقصد بها جماعة الإخوان المسلمين، وجماعة التبليغ، وجماعة أنصار السنة المحمدية، والجمعية الشرعية، والسلفيين، ومن يسمونهم التكفير والهجرة، وهذه كلها وغيرها قائمة بمصر أسأل ما موقف المسلم منها؟ وهل ينطبق عليها حديث حذيفة رضي الله عنه: «فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك (1) » رواه الإمام مسلم في الصحيح؟
ج: كل من هذه الفرق فيها حق وباطل وخطأ وصواب، وبعضها أقرب إلى الحق والصواب وأكثر خيرا وأعم نفعا من بعض، فعليك أن تتعاون مع كل منها على ما معها من الحق وتنصح لها فيما تراه خطأ، ودع ما يريبك إلى ما لا يريبك.
■Soal : Jama’ah-jama’ah dan golongan-golongan yang ada saat ini, aku maksudkan dengannya Jama’ah Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, Jama’ah Anshorus Sunnah Muhammadiyyah, Jam’iyyah Syar’iyyah, Salafiyyun, dan apa yang mereka namakan dengan Takfir dan Hijrah. Ini semua dan selainnya ada di Mesir. Aku bertanya bagaimana sikap seorang muslim terhadapnya ? Apakah bisa diterapkan terhadapnya hadits Hudzaifah – rodhiallohu ‘anhu- : “Maka menjauhlah kamu dari golongan-golongan itu semuanya walaupun kamu harus mengigit akar pohon sampai kamu berjumpa dengan kematian dan kamu dalam keadaan seperti itu” diriwayatkan Imam Muslim dalam Shohihnya ?
■Jawab : Seluruh golongan-golongan ini di dalamnya terdapat kebenaran dan kebatilan, kesalahan dan kebenaran. Sebagiannya lebih dekat kepada kebenaran, lebih banyak kebaikannya, dan kemanfaatannya lebih menyeluruh dari sebagian yang lain. Maka wajib bagimu untuk bekerja sama dengan setiap golongan tersebut dengan apa yang bersama jama’ah tersebut dari kebenaran dan engkau nasihatkan kepadanya apa yang engkau lihat hal itu sebagai kesalahan. Tinggalkan apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu. [ Fatwa Lajnah Daimah : 2/239 no fatwa : 6280 ].
Dalam jawaban fatwa di atas, Lajnah Daimah menyebutkan sisi kesalahan sekaligus menyebutkan sisi kebenaran/kebaikan jama’ah-jama’ah tersebut. Hal ini dilakukan untuk menimbang antara dua sisi yang ada kemudian menetapkan hukum atasnya.
Di sinilah letak kesalahan sebagian teman-teman Salafiyyun di Indonesia. Mereka menganggap, bahwa seluruh bentuk penyebutan sisi kebaikan dari pihak atau lembaga atau jama’ah tertentu, sebagai bentuk manhaj muwazanah kelompok Sururiyyah. Mereka tidak memerinci dan membedakan sedikitpun antara bab  tahkim dan bab tahdzir.
Pada akhirnya, ketika mereka menghukumi seseorang, mereka juga menerapkan hal ini. mereka hanya butuh sisi kesalahannya saja tanpa menengok sedikitpun sisi kebaikannya. Satu kesalahan manhaj, akan melahirkan berbagai kesalahan-kesalahan lain yang sangat fatal. Inilah bahaya kebodohan yang merupakan pokok pangkal dari seluruh kejelekan yang ada di muka bumi ini.
Demikianlah manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam menghukumi sesuatu. Menimbang sisi kebaikan dan sisi keburukan. Kemudian menetapkan hukum dengan yang paling dominan dari keduanya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, diantaranya :
■Pertama :
Firman Alloh Ta’ala :
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (8) وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
“Dan timbangan di hari itu ( di hari kiamat ) adalah benar. Barang siapa yang berat timbangan ( kebaikannya ), maka mereka termasuk orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang ringan timbangan ( kebaikannya ), maka mereka itu adalah orang-orang yang merugi diri mereka dengan sebab mereka telah mendzolimi ayat-ayat kami.” [ QS. Al-A’rof : 8 ].
Di dalam ayat di atas, Alloh menetapkan keberuntungan pada diri seseorang dengan kebaikan yang lebih dominan yang ada pada dirinya. Dan Alloh menetapkan kerugian ( kecelakaan ) seseorang dengan keburukan yang lebih dominan yang ada pada dirinya. Syaikh Abdurrohman bin Nashir As-Sa’di – rohimahullah – berkata tentang ayat di atas :
{فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ} بأن رجحت كفة حسناته على سيئاته {فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ} أي: الناجون من المكروه، المدركون للمحبوب، الذين حصل لهم الربح العظيم، والسعادة الدائمة {وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ} بأن رجحت سيئاته، وصار الحكم لها
“( Ucapan Alloh ) : “Barang siapa yang berat timbangannya”, ( maksudnya ) kuat neraca timbangan kebaikannya dari kejelekannya……dan ( ucapan Alloh ) : “Dan barang siapa yang ringan timbangan”, ( maksudnya ) kuat kejelekannya. Dan menjadilah ( penetapan ) hukum ( terhadapnya ) dengan sebab hal ini ( maksudnya dengan sesuatu yang lebih dominan yang ada pada diri mereka )”. Tafsir As-Sa’di : 283 ].
Perhatikan wahai pembaca yang dimuliakan oleh Alloh…! Bagaimana Alloh Ta’ala menetapkan hukum pada hamba-Nya disesuaikan dengan perkara yang paling dominan yang ada pada dirinya. Jika kebaikan yang ada pada dirinya lebih besar/berat, maka ditetapkan termasuk orang-orang yang akan beruntung. Dan jika ternyata sebaliknya, maka dia akan termasuk orang-orang yang celaka.
Alloh tidaklah menetapkan kejelekan/kecelakaan seseorang hanya semata melihat sisi kesalahannya saja tanpa melihat sisi kebaikannya. Jika kita menetapkan hukum kepada manusia hanya kita lihat sisi kesalahannya saja, sungguh kita telah keluar dari asas keadilan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Jika ini kita lakukan, maka tidak akan didapatkan orang baik di dunia ini.
Seandainya hal ini diterapkan kepada diri-diri kita, tentu kita tidak akan mau menerimanya. Kita akan protes karena kebaikan yang kita lakukan sedemikian banyak dan dalam jangka waktu yang sedemikian lama, tidak dinilai dan dipandang sebelah mata. Semua itu dikalahkan hanya dengan sedikit kesalahan yang kita lakukan-padahal seluruh manusia pasti salah-. “Panas setahun dihilangkan oleh hujan sehari”, demikian kata pepatah.
Kalau kita tidak dapat menerima cara penetapan hukum dengan model pepatah di atas, kenapa hal itu kita lakukan itu kepada saudara kita sesama Ahlus Sunnah ??!!
■Kedua :
Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri-rodhiallohu ‘anhu- :
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ» فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ: وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ؟ قَالَ: «تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ
“Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kalian dan perbanyakkanlah istighfar. Karena aku melihat kalian menjadi penghuni Neraka yang paling banyak." Seorang wanita yang pintar di antara mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa kaum wanita yang paling banyak menjadi penghuni Neraka?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. bersabda: "Kalian banyak mengutuk dan mengingkari ( kebaikan ) suami”. [ HR. Al-Bukhori : 153 dan Muslim : 132. Dan lafadz di atas lafadz Imam Muslim. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalan Abu Sa’id Al-Khudri ].
Pada hadits ini, Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- menjadikan sebab banyaknya wanita masuk Neraka, karena mereka banyak kufur ( mengingkari ) kebaikan suami. Sering kali seorang istri  lebih melihat pada kekurangan suami yang sangat sedikit, dibandingkan dengan kebaikan suami yang begitu banyak.
Imam Ibnu Abdil Barr-rohimahullah- ( wafat : 436 H ) berkata :
وَأَمَّا قَوْلُهُ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ فَالْعَشِيرُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ الزَّوْجُ وَالْمَعْنَى عِنْدَهُمْ فِي ذَلِكَ كُفْرُ النِّسَاءِ لِحُسْنِ مُعَاشَرَةِ الزَّوْجِ ثُمَّ عَطَفَ عَلَى ذَلِكَ كُفْرَهُنَّ بِالْإِحْسَانِ جُمْلَةً فِي الزَّوْجِ وَغَيْرِهِ
“Adapun ucapan beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- “Mereka ( para wanita ) kufur terhadap suami”, artinya mereka mengingkari kebaikan ( suaminya ). Al-‘asyir di konteks ini berma’na suami menurut para ulama’. Dan ma’na hadits ini menurut para ulama’: para wanita mengingkari kebaikan hubungan suami terhadapnya kemudian beliau menghubungkan hal itu dengan kekufuran mereka ( para wanita ) terhadap kebaikan secara global pada suami dan selainnya”. [ Al-Istidzkar : 2/240 ].
Kebaikan seorang suami kepada istrinya dimulai sejak dia menikahinya. Mungkin telah berlangsung selama puluhan tahun. Akan tetapi tatkala suatu waktu suami melakukan suatu kesalahan, maka sang istri melupakan seluruh kebaikan suaminya yang demikian banyak, dan hanya mengingat kesalahan suami yang amat sedikit. Inilah yang menyebabkan para wanita menjadi penghuni Neraka yang paling banyak.
Dalam hadits ini terdapat isyarat dari Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa kita tidak diperbolehkan untuk menghukumi seseorang dikarenakan suatu kesalahan yang dia lakukan tanpa melihat sisi kebaikannya yang lebih banyak.
Barang siapa yang menghukumi seseorang hanya melihat dari sisi kesalahannya saja ( yang sedikit ) dan melupakan sisi kebaikannya yang lebih besar, maka dia akan bernasib seperti para istri yang telah kufur kepada suaminya. Na’udzubillah min dzalik !
Yang lebih parah, manhaj para wanita yang disebutkan oleh Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- di dalam hadits di atas, ditiru oleh sebagian laki-laki yang mengaku ‘salafy paling sejati’. Tragis !
■Ketiga :
Kisah Hatib bin Abi Balta’ah – rodhiallohu ‘anhu-. Beliau sempat melakukan kekeliruan dengan membocorkan rahasia pasukan muslimin yang dipimpin oleh Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – kepada orang-orang musyrikin di Mekah. Maka ketika itu Umar bin Al-Khoththob – rodhiallohu ‘anhu – meminta ijin kepada Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – untuk memenggal leher Hatib ( membunuhnya ). Maka Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – melarang dengan mengucapkan kalimat :
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“Sesungguhnya dia telah ikut serta dalam perang Badar. Dari mana kamu tahu ( dia seorang munafik yang berhak dibunuh ) ? Alloh telah mengetahui terhadap orang-orang yang ikut perang Badar. Maka Alloh berkata : “Berbuatlah apa yang kamu inginkan, maka sungguh Aku ( Alloh ) telah mengampuni kalian”. [ HR. Al-Bukhari : 3007 ].
Imam Ibnu Baththal Abul Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik – rohimahullah – ( wafat tahun : 449 H )  berkata :
وإن كان قوله (صلى الله عليه وسلم) : (لعل الله اطلع على أهل بدر) دليل ليس بحتم، ولكنه على أغلب الأحوال، وينبغى أن نحسن بالله الظن فى أهل بدر وغيرهم من أهل الطاعات
“Walaupun ucapan beliau – shollallahu ‘alaihi wa sallam – : “Alloh telah mengetahui terhadap orang-orang yang ikut perang Badar”, merupakan dalil yang tidak pasti. Akan tetapi hal ini ( dibangun ) di atas kondisi yang paling dominan. Dan seyogyanya kita untuk berbaik sangka kepada Alloh terhadap orang yang ikut serta perang Badar dan selain mereka yang dari orang-orang yang melakukan ketaatan kepada Alloh”. [ Syarh Shohih Al-Bukhori : 8/596 ].
Pada kisah di atas, Hatib bin Abi Balta’ah telah melakukan suatu kesalahan yang sangat fatal. Akan tetapi Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – tetap memaafkannya dan melarang Umar untuk membunuhnya. Hal ini dikarenakan kebaikan yang terdapat pada diri Hatib ( ikut serta dalam perang Badar ) lebih besar kesalahan yang beliau lakukan.Beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- juga tidak mentahdzir, memboikot ataupun mencaci maki Hatib bin Abi Balta’ah-rodhiallohu ‘anhu-.
Kami tidak bisa membanyangkan seandainya sosok Hatib bin Abi Balta’ah ini hidup di zaman kita sekarang ini, apalagi tinggal di Indonesia. Kira-kira apa yang akan menimpa beliau di saat beliau melakukan kesalahan fatal seperti ini ? wallohul musta’an….
■Keempat :
Hadits dua qullah yang sangat masyhur dari sahabat Abdullah bin Umar –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata, Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ
“Apabila air itu mencapai dua qullah[1], maka tidak dapat memikul najis”.[ HR. Abu Dawud : 63, 64, 65, At-Tirmidzi : 67, An-Nasa’i : 175 dan Ibnu Majah : 517 dan dishohihkan oleh syaikh Al-Albani –rohimahullah- ].
Telah diriwayatkan pula, sesungguhnya Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ
"Sesungguhnya air tidak bisa menjadi najis karena sesuatu kecuali bila merubah bau, rasa dan warnanya." ( HR. Ibnu Majah : 512, Ad-Daruquthni dalam “Sunan” : 11, dan Al-Baihaqi : 1/295 dari Abu Umamah Al-Bahili-rodhiallohu ‘anhu- ).
Saya ( penulis ) berkata : Hadits di atas shohih li ghoirihi kecuali kalimat: kecuali bila merubah bau, rasa dan warnanya”, maka dhoif ( lemah ). Karena dalam sanadnya terdapat seorang rowi yang bernama : Rusydin bin Sa’ad. Hafidz Ibnu Hajar berkata : “dhoif( lemah )”. Ibnu Yunus berkata : “Dia seorang yang sholih dalam agamanya kemudian ditimpa kelalaian orang-orang sholih sehingga akhirnya hadits bercampur”. [ Silahkan simak pembahasan panjang dan sangat menarik tentang hadits ini dari sisi ilmu riwayat dalam kitab “Silsilah Adh-Dhoifah” karya Muhaditsul Ashr ( ahli hadits abad ini ) Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani –rohimahullah- : 6/152 ].
Walaupun hadits di atas lemah secara sanad, akan tetapi isinya shohih dan diamalkan dengan ijma’ ( konsensus ) ulama’ muslimin. Imam Ibnul Mundzir –rohimahullah- berkata :
أجمع العلماء على أن الماء القليل والكثير، إذا وقعت فيه نجاسة، فغيرت له طعما أو لونا أو ريحا، فهو نجس
“Para ulama’ telah bersepakat, sesungguhnya air yang sedikit dan banyak apabila jatuh ke dalamnya najis, kemudian najis itu merubah rasa atau warna atau rasa atau baunya, maka air tersebut najis”. [ Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam “At-Talkhish” : 1/15 ].
Perhatikan pembaca sekalian hafidzokumullah…..
Dalam hadits di atas Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- menghukumi kenajisan air ketika najis yang masuk kepadanya lebih dominan. Sehingga najis tersebut mampu merubah salah satu dari tiga sifat air, yaitu rasa atau bau atau warnanya.Karena tidak mungkin sesuatu itu bisa merubah sifat pokok sesuatu yang lain kecuali apabila sesuatu itu lebih dominan.
Beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak menghukumi air itu najis, semata-mata karena kemasukan najis, sehingga najis itu lebih dominan dan merubah salah satu sifat pokok air itu. Karena jika air itu dihukumi najis semata-mata karena kemasukan najis saja, maka Islam telah keluar dari asas keadilannya. Dan ini tidak mungkin selamanya !
Asas keadilan yang ada dalam Islam itu meliputi segala sesuatu, sampai kepada hewan ataupun benda-benda mati –termasuk di dalamnya air-. Coba fikirkan dengan akal sehat ! jika saja syari’at kita menghukumi kenajisan air semata-mata karena kemasukan najis ( walaupun sedikit dan tidak merubah salah satu sifat air yang tiga ), maka ini akan menjadi sesuatu yang memberatkan umat Islam. Lautan  atau sungai yang sedemikian luas kemudian dikencingi oleh seorang anak, maka menjadi nasjis. Bayangkan wahai kaum muslimin !
Jika air saja dihukumi najis oleh syari’at ketika najis yang masuk kepadanya lebih dominan,  maka seorang Ahlus Sunnah yang melakukan suatu kesalahan lebih berhak beribu-ribu kali lipat untuk diperlakukan sebagaimana Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- memperlakukan air yang kemasukan najis.
Seorang ahlus sunnah yang terjatuh ke dalam suatu kesalahan perlu untuk dilihat dan ditimbang akan kesalahan yang dia lakukan dari kebaikan yang ada pada dirinya. Jika kebaikannya lebih dominan, maka dia dihukumi di atas kebaikan dan kesalahannya yang sedikit itu telah ditenggelamkan oleh kebaikannya yang banyak.
■Kelima :
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah-rodhiallohu ‘anhu-, beliau berkata :
جَاءَ عُثْمَانُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَلْفِ دِينَارٍ فِي كُمِّهِ حِينَ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ فَنَثَرَهَا فِي حِجْرِهِ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَلِّبُهَا فِي حِجْرِهِ وَيَقُولُ: «مَا ضَرَّ عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ الْيَوْمِ
“Utsman datang kepada Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- dengan membawa seribu dinar dari lengan bajunya ketika Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam- mempersiapkan pasukan dalam perang ‘Usrah[2]. Maka Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- menebarkankannya di kamar beliau. Lalu aku melihat Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- menciumnya di kamar beliau seraya berkata : “ Tidak akan memudhorotkan Utsman apa yang dia lakukan setelah hari ini”.[ HR. At-TirmidziAhmad dan selainnya dan dihasankan oleh syaikh Al-Albani –rohimahullah- dalam “Al-Misykah” : 3/1713 no : 6073 ].
Ma’na ucapan Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- : “ Tidak akan memudhorotkan Utsman apa yang dia lakukan setelah hari ini”, bahwa setelah beliau-rodhiallohu ‘anhu- infaq 1000 dinar waktu itu, maka jika terjadi setelahnya kesalahan dari beliau, maka hal itu tidak akan memudhorotkan dan tidak berpengaruh terhadap beliau. Karena apa yang dilakukan Utsman waktu itu lebih besar berlipat-lipat dibandingkan dengen kejelekan yang mungkin akan dilakukan oleh Utsman setelahnya ( dengan wahyu dari Alloh kepada nabi-Nya -Shollallahu ‘alaihi wa sallam- ).
Padahal ini baru satu sisi kebaikan Utsman. Belum sisi-sisi lain yang sangat banyak dan sangat sulit untuk disebutkan semuanya. Lantas bagaimana jika seluruh kebaikan Utsman bin Affan dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan kekurangan beliau ? Sunngguh kekurangan yang ada pada beliau tidak terlihat sama sekali.
Imam Ath-Thiibi –rohimahullah- berkata :
المعْنى لا على عثمان بأس الذي عمل بعد هذه من الذنوب، فإنهَ مغفُورة مكفرة ونحوه قوله: "الله قد اطلع على أهل بدر فقال: اعملوا ما شئتم فقد غفرت لكم
“Makna ( hadits di atas ): Tidak mengapa atas Utsman yang beliau lakukan dari dosa-dosa setelah ini. Maka sesungguhnya hal itu telah diampuni dan dihapus ( oleh kebaikannya )”. Yang semisal dengan hal ini, ucapan beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- : “Alloh telah mengetahui akan ( kebaikan ) para sahabat yang ikut perang Badar, maka Alloh menyatakan : “Berbuatlah apa yang kalian inginkan, sungguh Aku telah mengampuni bagi kalian”. [ Quutul Mughtadzi ‘Ala Jami’it Tirmidzi : 2/998 ].
■Keenam :
Telah diriwayatkan dari Zubair bin Al-‘Awwam –rodhiallohu ‘anhu – beliau berkata :
كَانَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعَانِ يَوْمَ أُحُدٍ، فَنَهَضَ إِلَى الصَّخْرَةِ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ، فَأَقْعَدَ طَلْحَةَ تَحْتَهُ، فَصَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ حَتَّى اسْتَوَى عَلَى الصَّخْرَةِ، فَقَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: أَوْجَبَ طَلْحَةُ
"Pada perang uhud Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenakan dua baju perang, beliau lalu naik ke atas batu tetapi tidak bisa. Maka Thalhah pun jongkok di bawahnya hingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dapat naik di atas batu tersebut." Zubair berkata, "Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Telah wajib bagi Thalhah (masuk surga)." [ HR. At-Tirmidzi : 3738, dan dalam “Syamail” hal : 85, Ibnu Hibban : ( 2212 ),Al-Hakim : 3/374, Ahmad : 1/165, Ibnu Hisyam dalam “Siroh”  3/91-92. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani –rohimahullah- dalam “Ash-Shohihah” : 2/628 ].
Dalam hadits tersebut di atas, Tholhah –rodhiallohu ‘anhu- telah melakukan suatu amalan yang sangat besar. Sehingga hal itu menyebabkan Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- menetapkan beliau masuk Surga dalam kondisi masih hidup. Padahal seorang yang masih hidup, masih banyak peluang atau kemungkinan melakukan dosa. Hal yang demikian ini dikarenakan kesalahan yang mungkin dilakukan oleh Tholhah setelah itu, tidak sebanding dengan kebaikan yang telah beliau lakukan sebelumnya. Kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan telah terhapus dengan kebaikan yang lebih besar.
■Ketujuh :
Nabi Musa –‘alaihis salam- pernah melemparkan lembaran-lembaran yang di dalamnya terdapat ucapan Alloh yang Dia telah menetapkan ( ajal ) untuknya. Musa melemparkannya di atas bumi sampai tercerai berai dan dia ( Musa ) menampar mata malaikat maut dan mencukilnya.     
Musa juga pernah menyalahkan Nabi ( Muhammad ) –shollallahu ‘alaihi wa sallam- di hadapan Rabb-nya di malam Isro’. Musa berkata :”Seorang pemuda ( maksudnya Muhammad ) telah diutus setelahku, ( akan tetapi ) umatnya yang masuk Surga lebih banyak dari umatku”.         
Musa –alaihis salam –juga pernah mengambil jenggot nabi Harun dia tarik ke arahnya. ( hal ini semua dilakukan oleh Musa ) dalam kondisi beliau sebagai seorang Nabi Alloh.
Akan tetap itu semua tidaklah merubah sedikitpun kedudukan Nabi Musa di sisi Alloh sebagai hamba yang Dia cintai dan Dia muliakan. Kenapa demikian, karena kebaikan yang ada pada Nabi Musa lebih besar berlipat-lipat jika dibandingkan dengan kekurangannya. Sehingga kebaikan itu telah menghapus kekurangan-kekurangan beliau-alaihis salam-.
Demikian tujuh  dalil yang dapat kami sebutkan. Sebenarnya masih ada dalil-dalil yang lain. Akan tetapi apa yang telah kami sebutkan insya Alloh telah mencukupi sebagai hujjah akan kaidah yang telah kami sebutkan di atas.
Simak penjelasan Imam Ibnul Qoyyim –rohimahullah- dalam masalah ini. Walaupun agak panjang, sengaja kami nukilan secara utuh karena di dalamnya terdapat ilmu yang sangat penting. Beliau –rohimahullah - berkata :
من قواعدالشرع وَالْحكمَة ايضا ان من كثرت حَسَنَاته وعظمت وَكَانَ لَهُ فِي الاسلام تَأْثِير ظَاهر فَإِنَّهُ يحْتَمل لَهُ مَالا يحْتَمل لغيره ويعفي عَنهُ مَالا يعفي عَن غَيره فَإِن الْمعْصِيَة خبث وَالْمَاء إِذا بلغ قُلَّتَيْنِ لم يحمل الْخبث بِخِلَاف المَاء الْقَلِيل فَإِنَّهُ لَا يحمل ادنى خبث وَمن هَذَا قَول النَّبِي لعمر وَمَا يدْريك لَعَلَّ الله اطلع على اهل بدر فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُم فقد غفرت لكم وَهَذَا هُوَ الْمَانِع لَهُ من قتل من جَسَّ عَلَيْهِ وعَلى الْمُسلمين وارتكب مثل ذَلِك الذَّنب الْعَظِيم فَأخْبر انه شهد بَدْرًا فَدلَّ على ان مُقْتَضى عُقُوبَته قَائِم لَكِن منع من ترَتّب اثره عَلَيْهِ مَاله من المشهد الْعَظِيم فَوَقَعت تِلْكَ السقطة الْعَظِيمَة مغتفرة فِي جنب مَاله من الْحَسَنَات وَلما حض النَّبِي على الصَّدَقَة فَأخْرج عُثْمَان رضى الله عَنهُ تِلْكَ الصَّدَقَة الْعَظِيمَة قَالَ ماضر عُثْمَان مَا عمل بعْدهَا وَقَالَ لطلْحَة لما تطاطأ للنَّبِي حَتَّى صعد على ظَهره الى الصَّخْرَة اوجب طَلْحَة وَهَذَا مُوسَى كلم الرَّحْمَن عز وَجل القى الالواح الَّتِي فِيهَا كَلَام الله الَّذِي كتبه لَهُ القاها على الارض حَتَّى تَكَسَّرَتْ وَلَطم عين ملك الْمَوْت ففقأها وعاتب ربه لَيْلَة الاسراء فِي النَّبِي وَقَالَ شَاب بعث بعدِي يدْخل الْجنَّة من امته اكثر مِمَّا يدخلهَا من امتي واخذ بلحية هَارُون وجره اليه وَهُوَ نَبِي الله وكل هَذَا لم ينقص من قدرَة شَيْئا عِنْد ربه وربه تَعَالَى يُكرمهُ وَيُحِبهُ فَإِن الامر الَّذِي قَامَ بِهِ مُوسَى والعدو الَّذِي برز لَهُ وَالصَّبْر الَّذِي صبره والاذى الَّذِي اوذيه فِي الله امْر لَا تُؤثر فِيهِ امثال هَذِه الامور وَلَا تغير فِي وَجهه وَلَا تخْفض مَنْزِلَته وَهَذَا امْر مَعْلُوم عِنْد النَّاس مُسْتَقر فِي فطرهم ان من لَهُ الوف من الْحَسَنَات فَإِنَّهُ يسامح بِالسَّيِّئَةِ والسيئتين وَنَحْوهَا حَتَّى انه ليختلج دَاعِي عُقُوبَته على إساءته وداعي شكره على إحسانه فيغلب دَاعِي الشُّكْر لداعي الْعقُوبَة كَمَا قيل: وَإِذا الحبيب اتى بذنب وَاحِد ... جَاءَت محاسنه بِأَلف شَفِيع وَقَالَ آخر: فَإِن يكن الْفِعْل الَّذِي سَاءَ وَاحِدًا ... فافعاله اللَّاتِي سررن كثير. وَالله سُبْحَانَهُ يوازن يَوْم الْقِيَامَة بَين حَسَنَات العَبْد وسيئاته فايهما غلب كَانَ التَّأْثِير لَهُ فيفعل بَاهل الْحَسَنَات الْكَثِيرَة الَّذين آثروا محابه ومراضيه وغلبتهم دواعي طبعهم احيانا من الْعَفو والمسامحة مَالا يَفْعَله مَعَ غَيرهم
Termasuk dari kaidah-kaidah syari’at dan hikmah, sesungguhnya barang siapa yang kebaikannya banyak dan besar serta memiliki pengaruh ( positif ) yang nyata dalam Islam, maka sesungguhnya diampuni dan dimaafkan (kekurangannya/kesalahannya), yang hal ini tidak di dapatkan bagi orang selainnya.
Maka sesungguhnya ma’siat itu kotoran ( najis ). Dan air itu apabila mencapai dua qullah, tidak akan mengandung kotoran. Lain halnya apabila air itu sedikit, maka sesungguhnya tidak akan mampu memikul kotoran yang paling ringan.
Contoh dari hal ini, adalah ucapan Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- kepada Umar –rodhiallohu ‘anhu- :”Tidakkah kamu tahu Alloh telah mengetahui para sahabat yang ikut perang Badar ? kemudian Dia ( Alloh ) berkata :”Berbuatlah sekehendak kalian ! sungguh Aku telah mengampuni kalian”. Dan hal ini adalah perkara yang menghalangi beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- dari membunuh seorang yang telah memata-matai ( mengintai ) beliau dan kaum muslimin serta telah  melakukan dosa yang sangat besar seperti itu. 
Maka beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengkabarkan sesungguhnya dia ( namanya Hatib bin Abi Balta’ah ) telah ikut perang Badar. Hal ini menunjukkan, sesungguhnya sebab yang mengharuskan dia menerima hukuman telah ada pada dirinya, akan tetapi dihalangi oleh akibat pengaruh keikutsertaan beliau dalam peperangan besar ( perang Badar ). Sehingga kesalahan besar tersebut telah diampuni ( karena ) sisi kebaikan-kebaikan yang telah dia miliki sebelumnya.
Tatkala Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- mendorong ( para sahabat ) untuk Shodaqoh, Utsman mengeluarkan shodaqah yang sangat besar. Maka beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata :”Tidak akan memudhorotkan Utsman apa yang dia lakukan setelah ini”.
Beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkata kepada Tholhah : “Tholhah wajib ( masuk Surga )”. ( Hal ini beliau ucapkan ) tatkala Tholhah merunduk/menderum untuk ( dinaiki ) nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- sehingga nabi-shollallahu ‘alaihi wa salam- naik di atas punggungnya ( untuk menggapai ) sebuah batu besar ( diperang Uhud ).
Dan ini musa –alaihis salam- yang digelari kalimur rohman –azza wa jalla-, melemparkan lembaran-lembaran yang di dalamnya terdapat ucapan Alloh yang Dia telah menetapkan ( ajal ) untuknya. Musa melemparkannya di atas bumi sampai tercerai berai dan dia ( musa ) menampar mata malaikat maut dan mencukilnya.                                                                                                          
Musa juga pernah menyalahkan Nabi ( Muhammad ) –shollallahu ‘alaihi wa sallam- di hadapan Rabb-nya di malam Isro’. Musa berkata :”Seorang pemuda ( maksudnya Muhammad ) telah diutus setelahku, ( akan tetapi ) umatnya yang masuk Surga lebih banyak dari umatku”. Musa –alaihis salam –juga pernah mengambil jenggot nabi Harun dia tarik ke arahnya. ( hal ini semua dilakukan oleh Musa ) dalam kondisi beliau sebagai seorang Nabi Alloh. 
Semua ini tidaklah mengurangi kedudukannya sedikitpun di sisi Rabb-Nya. Rabb-Nya memuliakan dan mencintainya. Maka sesungguhnya apa yang telah ditunaikan oleh Musa, permusuhan (kaumnya ) yang ditampakkan kepadanya, kesabaran yang telah dia jalani, serta segala ganguan yang telah menimpa dirinya dalam mengemban risalah Alloh, membuat perkara-perkara yang telah disebutkan di atas tidak berpengaruh sama sekali padanya, tidak mengubah ( dia ) di hadapan-Nya serta tidak menurunkan kedudukannya.
Dan hal ini adalah suatu perkara yang telah dimaklumi oleh seluruh manusia. Telah tetap pada fitroh-fitroh mereka, sesungguhnya seorang yang memiliki banyak sekali kebaikan, maka sesungguhnya dia diberikan toleransi dari satu atau dua kesalahan dan yang semisalnya. Sehingga dicabutlah perkara yang menjadi pendorong terhadap hukuman yang layak dia terima atas perbuatan jelek yang dia lakukan,dan perkara yang menjadi pendorong kesyukurannya atas perbuatan baiknya. Maka dimenangkan pendorong kesyukurannya atas pendorong hukuman untuknya. Sebagaimana diucapkan ( oleh seorang penyair ) :
وَإِذا الحبيب اتى بذنب وَاحِد ... جَاءَت محاسنه بِأَلف شَفِيع
“Apabila seorang yang dicintai datang dengan membawa satu dosa…
maka akan datang seribu kebaikannya yang akan menjadi penolongnya”.
Yang lain berkata :
فَإِن يكن الْفِعْل الَّذِي سَاءَ وَاحِدًا .....فافعاله اللَّاتِي سررن كثير
“Maka jika satu perbuatan membuat susah satu orang…..
masih banyak perbuatan-perbuatannya yang lain yang akan membuat bahagia”.
Alloh Subhanahu, nanti di hari kiamat akan menimbang antara kebaikan-kebaikan dan kejelekan-kejelekannya. Maka mana saja dari keduanya yang lebih dominan ( lebih banyak ), maka akan memberikan pengaruh kepadanya. Akan diperlakukan terhadap para pelaku kebaikan-kebaikan yang sangat banyak, yaitu orang-orang yang membangkitkan kecintaan-kencintaan dan keridhoan-keridhoan-Nya. Dan terkadang, mereka dikalahkan oleh pendorong-pendorong tabiat mereka dari sifat memberikan maaf dan toleransi apa yang tidak dia lakukan terhadap selain mereka.Miftah Darus Sa’adah : 1/176-177 ).
Syaikh Muhaddits Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr[3] –hafidzohullah- berkata :
ليس العصمة لأحد بعد رسول الله-صلى الله عليه و سلم- فلا يسلم عالم من خطأ ومن أخطأ لا يتابع على خطئه ولا يتخذ ذلك الخطأ ذريعة إلى عيبه و التحذير منه, بل يغتفر خطؤه القليل في صوابه الكثير, ومن كان من هؤلاء العلماء قد مضى فيستفاد من علمه مع الحذر من متابعته على الخطأ , و يدعى له و يترحم عليه, ومن كان حيا سواء كان عالما أو طالب علم ينبه على خطئه برفق و لين و محبة لسلامته من الخطأ و رجوعه إلى الصواب.  ومن العلماء الذين مضوا و عندهم خلل في مسائل من العقيدة ولا يستغني العلماء و طلبة العلم عن علمهم, بل إن مؤلفاتهم من المراجع المهمة للمشتغلين في العلم, الإئمة : البيهقي, و النووي, وابن حجر العسقلاني.
“Tidak ada seorangpun yang terjaga dari kesalahan setelah Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Tidak ada seorangpun yang selamat dari kesalahan. Barang siapa yang keliru, tidak boleh untuk diikuti kesalahannya. ( akan tetapi ) kesalahannya tersebut tidak boleh dijadikan perantara untuk mencelanya dan mentahdzir umat darinya. Bahkan sedikit kesalahannya diampuni di dalam kebenarannya yang banyak. Dan dari mereka para ulama’ yang telah lalu ( telah wafat ) maka diambil faidah ilmunya diiringi sikap waspada dari mengikutinya di atas kesalahannya, dido’akan ( dengan kebaikan ), dan dido’akan rahmat atasnya. Dan barang siapa yang masih hidup baik dia seorang ulama’ atau penuntut ilmu diperingatkan atas kesalahannya dengan lembut, lunak, dan kecintaan untuk dia selamat dari kesalahan serta kembali kepada kebenaran. Dan dari ulama’ yang telah wafat, adadiantara mereka yang memiliki kesalahan-kesalahan dalam masalah-masalah aqidah( akan tetapi ) para ulama’ dan penuntut ilmu tetap membutuhkan ilmu mereka. Bahkan karangan-karangan mereka termasuk rujukan yang sangat penting bagi orang-orang yang menyibukkan diri dalam ilmu agama. Diantara para imam tersebut : Al-Baihaqi, An-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Asqolani –rohimahumullah-…”. [ Rifqon Ahlas Sunnah Bi Ahlis Sunnah : 31 ].
Sebagaian para Imam Ahlus Sunnah terjatuh dalam beberapa kesalahan. Bahkan diantara mereka ada yang terjatuh dalam masalah-masalah aqidah. Diantara mereka, Al-Baihaqi, An-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Khothtobi, Ibnu Aqil Al-Hambali, dan selain mereka. Akan tetapi, bagaimana para ulama’ salaf setelahnya menyikapi mereka ? apakah kemudian para ulama’ setelahnya mentahdzir mereka dan memboikot seluruh buku-buku mereka ? jawabnya tidak. Simak contoh yang berikut ini !
Imam Adz-Dzahabi –rohimahullah- berkata  tentang Imam Ahmad bin Husain Al-Baihaqi –rohimahullah- :
هو الحافظ العلامة الثبت الفقيه شيخ الإسلام
“Beliau seorang hafidz, berilmu banyak, kokoh, seorang yang faqih, syaikhul Islam…..”[Siyar A’lamin Nubala’ : 18/163 ].
Beliau juga menyatakan tentang Imam Nawawi-rohimahullah- :
لإمام الحافظ الأوحد القدوة شيخ الإسلام
“Imam, hafidz, contoh yang sangat jarang, syaikhul Islam”Tadzkiratul Huffadz : 4/259 ].
30 Rabi'ul Awwal 1438 H
Abdullah bin Abdurrahman al-Jirani -hafidzohullah-
[ Tulisan ini kami copy dari artikel yang disusun oleh ustadz Abdullah bin Abdurrahman Al-Jirani -hafidzohullah- tanpa mengurangi dan menambah sedikitpun. Kami juga menyertakan sumber asli tulisan ini sebagai bentuk amanah ilmiyyah - Admin/Rangga Pratama ]




[1] Dua qullah kira-kira setara dengan : 307 liter atau 102 kg. Simak : Minhatul ‘Alam Syarh Bulughul Maram ( 1/39 ) karya Fadhilatusy Syaikh Abdullah Al-Fauzan – hafidzohullah -. Kitab ini termasuk salah satu syarh terbaik terhadap kitab Bulughul Maram. Demikianlah dinyatakan oleh muhadits kota Madinah, Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr –hafidzohullah-
[2] Perang ‘Usrah adalah perang Tabuk. Disebut dengan perang ‘Usrah ( perang sulit ) karena waktu itu cuaca sangat panas dan daerah sangat gersang. Lihat kitab “Quutul Mughtadzi ‘Ala Jami’it Tirmidzi” : 2/997 karya Imam Abdurrahman bin Abi Bakr As-Suyuthi –rohimahullah – ( wafat : 911 H ).
[3] Beliau termasuk salah satu ulama’ kibar Ahlus Sunnah di zaman ini yang memiliki perhatian besar kepada ilmu terutama kepada ilmu hadits dan kutubul hadits. Beliau merupakan guru dari syaikh Robi’ bin Hadi Al-Madkholi –hafidzohullah-. Saat ini, beliau menjadi pengajar tetap di masjid Nabawi dan sibuk menulis. Semoga Alloh menjaga dan memanjangkan umur beliau dalam kebaikan dan memberikan manfaat kepada umat dengan ilmu beliau.

0 komentar

Posting Komentar