Selasa, 20 Mei 2014

Apa Kata Wali Songo Tentang Bid'ah

Al Imaam as-Syaafi’iy rahimahullaah dalam kitab al-Umm berkata :

“…dan aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat.” (al-Umm (Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1393) juz I, hal 279).

Tapi sayang, ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar, masyarakat begitu berat untuk menerima Islam. Mau masuk Islam tapi harus kehilangan adat istiadat seperti selamatan-selamatan, dll..

Ini mirip beratnya masyarakat Romawi ketika disuruh masuk Nasrani tapi tidak mau kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.

Dikutip dalam sebuah naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, dimana Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan ritual-ritual semisal selamatan kematian, Sunan Ampel berkata :

“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”

Sunan Kalijogo menjawab :

“Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan MENGHILANGKAN budaya tahlilan itu”

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Muria (yang bisa dikategorikan kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat (kaum putihan).

Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang, dan gamelan dimasuki rasa keislaman.

Namun, Sunan Ampel berpandangan lain :

“Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ?? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah"

Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (lihat hal 41, 64)

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha.

Tetapi sebaliknya, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Kalijaga, justru mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Bahkan sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan, dll..

Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit..

Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga yang sedemikian rupa, maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan). Karena : Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).

[Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press]

Dari sekelumit gambaran sejarah diatas, terlihat jelas bahwa sebenarnya kegiatan atau ritual-ritual bid'ah semisal selamatan, bersaji, sekatenan, ruwatan, tahlilan, dll, semua itu adalah bid'ah, para walisongo sendiri yang mengatakan demikian.

Tapi, karena ingin agar Islam bisa lebih mudah diterima masyarakat pada masa itu, ahirnya sebagian para wali (khususnya Sunan Kalijaga) mengambil "kebijakan" lain.

Tentu kita tak bermaksud menyudutkan Sunan Kali Jaga, bahkan beliau sendiri juga yang mengatakan bahwa bid'ah suatu saat nanti sebaiknya dihilangkan, beliau berkata :

“Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”

Jelas sekali para wali Songo sendiri, termasuk Sunan Kali Jaga, mereka sendiri lah yang menginginkan agar suatu saat budaya tahlilan ini dihilangkan.

Jadi, jika memang mengaku mencintai para wali, seharusnya saudara2 kita yang masih memegang erat ritual2 warisan nenek moyang tsb segera meninggalkannya.

Bahkan Sunan Bonang pernah bernasehat kepada ummat :

“Ee..mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sami-sami nira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.(Lihat Het Book van Mbonang).

Artinya : "Wahai saudaraku ! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah."

● Het Book van Mbonang adalah sebuah dokumen yang menjadi sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1930.


Dan perlu dicatat, bahwa dalam hal ini kita tak bermaksud menjadikan dokumen atau catatan sejarah tsb sebagai dalil, dalil kita tetaplah Qur'an wa Sunnah alaa fahmi Salaf, namun fakta sejarah sendiri telah menunjukkan bagaimana sebenarnya sikap dan pemahaman para wali songo yang justru menginginkan ritual-ritual bid'ah tsb dihilangkan.

Wallaahu Ta'ala A'lam bish-showaab.

0 komentar

Posting Komentar