Kamis, 05 Juni 2014

Adab Syar'i Bagaimana Menasehati Penguasa

Bagaimanakah Cara yang Diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Menasehati Penguasa ??


Untuk menjawabnya, kita harus memulai dengan memahami bersama bahwa memberikan nasihat kepada penguasa adalah sebuah perkara besar karena menyangkut kemaslahatan atau mafsadah total (menyeluruh) menyangkut masyarakat/rakyat. Di dalamnya terkait keamanan atau ketakutan rakyat serta terlindungi atau tertumpahkannya darah mereka.

Maka.. Jika terjadi kesalahan pada para penguasa maka yang wajib adalah menasehati mereka dengan cara yang syar’i dan ittiba’ kepada jalan Salafush Sholih, yaitu dengan menasehatinya secara sembunyi-sembunyi, bukan dengan cara demonstrasi, provokasi, dan agitasi..

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salambersabda :

“Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa pada suatu perkara makajanganlah ia tampakkan kepadanya secara terang-terangan, melainkanhendaklah ia pegang tangannya dan menyendiri dengannya, kalau dia (penguasa) menerima, maka hal itu bagus, dan kalau tidak maka dia telah menunaikan kewajibannya memberikan nasihat”. [Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dalam Musnad-nya : 3/403 dan Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah halaman 507 dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Zhilalul Jannah: 1096]

Ketika membawakan hadits di atas, al-Imam Ahmad menyebutkan sebuah kisah. Kata beliau :

" Seorang sahabat Nabi bernama ‘Iyadh bin Ghunm yang menjadi penguasa di wilayah Syam (Siyar A’lamin Nubala, 2/354) mencambuk seorang pemilik rumah ketika rumah itu dibuka (karena masalah kharaj [semacam pajak], wallahu a’lam, red). Maka seorang sahabat yang lain yaitu Hisyam bin Hakim lewat dan menasihati dengan begitu keras kepadanya sehingga ‘Iyadh pun marah. Berlalulah beberapa malam. Lalu Hisyam datang dan beralasan seraya mengatakan kepada ‘Iyadh, “Tidakkah engkau mendengar Nabi mengatakan :

‘Sesungguhnya manusia yang termasuk paling keras azabnya adalah yang paling keras menyiksa manusia di dunia’

Maka ‘Iyadh pun menjawab :

" Wahai Hisyam bin Hakim, kami telah mendengar apa yang engkau dengar dan telah melihat apa yang kamu lihat. Apakah kamu tidak mendengar Rasulullah n bersabda, … (lalu menyebut hadits di atas). Sesungguhnya engkau wahai Hisyam, benar-benar nekat jika engkau berani terhadap penguasa Allah. Tidakkah engkau takut untuk dibunuh oleh penguasa Allah sehingga engkau menjadi korban pembunuhan penguasa Allah ?! "

Dalam kisah yang berlangsung antara dua orang sahabat Nabi yang mulia itu terkandung bantahan yang sangat telak bagi orang yang berdalil dengan perbuatan Hisyam bin Hakim yang mengingkari penguasa dengan terang-terangan atau berdalil dengan sahabat lain, di mana sahabat ‘Iyadh mengingkari perbuatan itu atas mereka lalu menyebutkan dalil yang menjadi pemutus dalam masalah ini, maka tiadalah bagi Hisyam kecuali menerima dalil itu yang sangat jelas maksudnya. Dan hujjah itu adalah hadits Nabi, bukan ucapan siapa pun dari kalangan manusia.

(Lihat : Mu’amalatul Hukkam, hlm. 151—152)

Atas dasar hadits itu berarti penguasa mempunyai perlakuan khusus ketika diingkari kemungkarannya atau diberi nasihat. Sehingga salah bila dikatakan :

" Adapun tuntutan syari’ah dalam menentang kemungkaran yang ada pada pemerintah itu adalah sebagaimana tuntunan dalam mencegah kemungkaran pada umumnya. "

(Sumber bacaan : Majalah Salafy edisi 02 tahun V)

Umar bin Al Khoththob radhiyallahu’anhu juga berkata :

“Wahai para rakyat, sesungguhnya kalian memiliki kewajiban kepada kami : Nasihat dengan cara sembunyi-sembunyidan asling membantu dalam kebaikan” [Diriwayatkan oleh Hannad bin Sari dalam Az-Zuhd: 2/602]

Ketika Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ditanya tentang cara ammar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa maka beliau mengatakan :

“Jika kamu harus melakukannya makaantara dia dan dirimu saja“. [Minhatul Imam Ahmad boleh Hnbal bin Ishaq hal. 84 dan Jami'ul Ulum wal Hikam : 1/225]

Ada seorang yang berkata kepada Usama bin Zaid radhiyallahu’anhuma :

“Seandainya kamu datang kepadanya (yaitu Utsman bin Affanradhiyallahu’anhu) kemudian kamu nasehati dia !” Usamah menjawab : “Sesungguhnya kalian memandang bahwa aku tidak berbicara dengannya kecuali aku perdengarkan kepada kalian ?! Sesunguhnya aku telah berbicara dengannya secara sembunyi-sembunyi tanpa aku membuka pintu, agar aku bukanlah yang pertama kali membukanya” [Muttafaqun 'alaih, Shohih Bukhari : 3267 dan Shohih Muslim: 2989]

Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata :

“Maksud Usamah bahwasannya dia tidak ingin membuka pintu mengingkari pimpinan secara terangan-terangan, karena dikhawatirkan akibat jelek hal itu, bahkan hendaklah bersikap lembut kepada pimpinan, dan menasehatinya dengan cara sembunyi-sembunyi, yang itu akan lebih bisa diterima”. [Fathul Bari: 13/52]

Maka sangatlah tidak bijaksana mengoreksi dan mengkritik kekeliruan para pemimpin melalui mimbar-mimbar terbuka, tempat-tempat umum, atau media massa baik yang elektronika, maupun cetak yang bisa menimbulkan banyak fitnah, apalagi terkadang disertai dengan hujatan dan cacian kepada orang perorang. Seharusnya, nasihat kepada para pemimpin dilakukan dengan cara lemah lembut dan di tempat rahasia, sebagaimana yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhuma tatkala menasehati Utsman bin Affanradhiyallahu’anhu bukan dengan cara mencaci maki mereka di tempat umum atau mimbar”.

Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullahberkata :

“Menasehati para pemimpin dengan cara terang-terangan memalui mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum bukanlah termasuk manhaj salaf. Sebab hal itu akan menyebabkan terjadinya kudeta dan tidak adanya ketaatan dalam perkara yang ma’ruf serta akan membawa kepada pemberontakan yang memadhorotkan dan tidak membawa manfaat. Akan tetapi, manhaj salaf dalam menasehati pemimpin yaitu dengan menyampaikannya secara empat mata, mengirim surat kepadanya, atau menghubungi para ulama yang menyampaikan nasihat kebaikan tersebut kepada pemimpin”. [Huququ Ro'i wa Ro'iyyah hlm. 27-28]


[Sebagian tulisan disunting dari : Ust. Arif Fatul Ulum]

0 komentar

Posting Komentar