Senin, 25 November 2013

Tawassul Dalam Perspektif Ahli Hadis

Tawassul memiliki arti dasar ‘mendekat’, sementara Wasilah adalah media pelantara untuk mencapai tujuan. Tawassul yang dimaksud dalam disini adalah mendekatkan diri kepada Allah swt dengan menggunakan pelantara lain, baik nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), sifat-sifat Allah, amal shaleh, atau melalui makhluk Allah baik, dengan doanya atau kedudukannya yang mulia disisi Allah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah)
Sedangkan Istighatsah adalah meminta pertolongan (طلب الغوث) sebagaimana dalam QS. Al-Anfal: 9, baik langsung kepada Allah maupun melalui pelantara seperti saat minta pertolongan di hari kiamat kepada Nabi Adam, Nabi Nuh dan akhirnya meminta pertolongan kepada Nabi Muhammad Saw (HR al-Bukhari No 1475). Namun secara umum Syaikh Taqiyuddin al-Subki tidak membedakan antara Tawassul dan Istighatsah, karena pada hakikatnya adalah meminta pertolongan kepada Allah melalui pelantara tertentu (Syaikh Abu Ahmad bin Marzuq, al-Tawassul bi al-Nabi wa bi al-Shalihin 185)

A. Rasulullah Saw Mengajarkan Tawassul
- Riwayat al-Hakim dan al-Turmudzi
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُوْ بِهِ يَرُدُّ اللهُ عَلَيَّ بَصَرِيْ فَقَالَ لَهُ قُلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِي فِي نَفْسِي فَدَعَا بِهَذَا الدُّعَاءِ فَقَامَ وَقَدْ أَبْصَرَ (رواه الحاكم 1929 والترمذي 3578)
Dari Utsman bin Hunaif: Suatu hari seorang yang buta datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata: Wahai Rasulullah, ajarkan saya sebuah doa yang akan saya baca agar Allah mengembalikan penglihatan saya. Rasulullah berkata: bacalah doa (artinya) Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat. Kemudian ia berdoa dengan doa tersebut, ia berdiri dan telah bisa melihat” (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak No 1929, hadis ini memiliki banyak jalur riwayat, beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam al-Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam al-Dzahabi mengatakatan bahwa hadis ini adalah sahih. Dan diriwayatkan oleh al-Turmudzi No 3578, ia berkata: Hadis ini Hasan Sahih Gharib)

- Riwayat al-Thabrani
Diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam kitab Mu’jam al Kabir dan al-Ausath dalam redaksi hadis yang sangat panjang dari Anas, bahwa ketika Fatimah binti Asad bin Hasyim (Ibu Sayyidina Ali) wafat, maka Rasulullah turut menggali makam untuknya dan Rasul masuk ke dalam liang lahadnya sembari merebahkan diri di dalam liang tersebut dan beliau berdoa:
اللهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ اِغْفِرْ ِلأُمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ (رواه الطبراني في المعجم الكبير 20324 والاوسط 189 ورواه ابو نعيم فى حلية الاولياء عن انس 3 / 121)
“Allah yang menghidupkan dan mematikan. Allah maha hidup, tidak akan mati. Ampunilah ibuku, Fatimah binti Asad, tuntunlah hujjahnya dan lapangkan kuburnya, dengan haq Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkau dzat yang paling mengasihi” (HR al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir No 20324, al-Ausath No 189 dan Abu Nuaim dalam Hilyat al-Auliya’ III/121 dari Anas bin Malik)
Ahli hadis al-Hafidz Nuruddin al-Haitsami mengomentari hadis tersebut:
رَوَاهُ الطَّبْرَانِي فِي الْكَبِيْرِ وَاْلاَوْسَطِ وَفِيْهَ رَوْحُ بْنُ صَلاَحٍ وَثَّقَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَفِيْهِ ضُعْفٌ ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيْحِ (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد 9 / 210)
“Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab Mu’jam al Kabir dan al-Ausath, salah satu perawinya adalah Rauh bin Shalah, ia dinilai terpercaya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, tetapi ia dlaif, sedangkan yang lain adalah perawi-perawi sahih” (Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid IX/210)
Sayid Muhammad bin Alawy al-Maliki berkata:
وَاخْتَلَفَ بَعْضُهُمْ فِى رَوْحِ بْنِ صَلاَحٍ اَحَدِ رُوَاتِهِ وَلَكِنَّ ابْنَ حِبَّانَ ذَكَرَهُ فِى الثِّقَاتِ وَقَالَ الْحَاكِمُ ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ قَالَ الشَّيْخُ الْحَافِظُ الْغُمَّارِى فِى اتِّحَافِ اْلاَذْكِيَاءِ (ص 20) وَرَوْحٌ هَذَا ضُعْفُهُ خَفِيْفٌ عِنْدَ مَنْ ضَعَّفَهُ كَمَا يُسْتَفَادُ مِنْ عِبَارَاتِهِمْ وَلِهَذَا عَبَّرَ الْهَيْثَمِى بِمَا يُفِيْدُ خِفَّةَ الضُّعْفِ كَمَا لاَ يَخْفَى عَلَى مَنْ مَارَسَ كُتُبَ الْفَنِّ فَالْحَدِيْثُ لاَ يَقِلُّ عَنْ رُتْبَةِ الْحَسَنِ بَلْ عَلَى شَرْطِ ابْنِ حِبَّانَ (كلمة فى التوسل ص 11)
“Sebagian ulama berbeda pendapat mengenai salah satu perawinya, Rauh bin Shalah, namun Ibnu Hibban menggolongkannya sebagai orang-orang terpercaya dalam kitab al-Tsiqat, dan al-Hakim berkata: Ia terpercaya dan amanah. Al-Hafidz al-Ghummari berkata dalam Ittihaf al-Adzkiya’ hal. 20: Perawi Rauh ini tingkat kedlaifannya rendah bagi ulama yang menilainya dlaif, hal ini diketahui dari redaksi penilaian mereka tentang Rauh. Oleh karenanya, al-Haitsami menilai dengan redaksi yang ringan (فيه ضعف) sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang mempelajari ilmu ini (al-Jarh wa al-Ta’dil). Dengan demikian, hadis ini tidak kurang dari status hadis Hasan bahkan sesuai kriteria kesahihan Ibnu Hibban” (Kalimat fi al-Tawassul hal. 20)

B. Sahabat mengajarkan Tawassul[2]
- Utsman bin Hunaif
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي حَاجَتِهِ وَكَانَ عُثْمَانُ لاَ يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ وَلا يَنْظُرُ فِي حَاجَتِهِ فَلَقِيَ ابْنَ حُنَيْفٍ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَيْهِ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ ائْتِ الْمِيضَأَةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيَقْضِي لِي حَاجَتِي وَتُذْكُرُ حَاجَتَكَ حَتَّى أَرْوَحَ مَعَكَ فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ فَصَنَعَ مَا قَالَ لَهُ ثُمَّ أَتَى بَابَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَجَاءَهُ الْبَوَّابُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ فَأَدْخَلَهُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَأَجْلَسَهُ مَعَهُ عَلَى الطِّنْفِسَةِ فَقَالَ حَاجَتُكَ فَذَكَرَ حَاجَتَهُ وَقَضَاهَا لَهُ (رواه الطبرانى فى المعجم الكبير 8232 والصغير 508 ورواه البيهقى في دلائل النبوة 6 /  168)
“Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif (perawi hadis yang menyaksikan orang buta bertawassul kepada Rasulullah) bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak memperhatikan kebutuhannya.Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif (perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air wudlu’ kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabulkan. Sebutlah apa kebutuhanmu. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memutuskan permasalahannya” (HR al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 8232, al-Mu’jam al-Shaghir 508 dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah 6/168)
Ahli hadis al-Hafidz Nuruddin al-Haitsami berkata:
وَقَدْ قَالَ الطَّبْرَانِي عَقِبَهُ وَالْحَدِيْثُ صَحِيْحٌ بَعْدَ ذِكْرِ طُرُقِهِ الَّتِي رَوَي بِهَا (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد 2 / 565)
“Dan sungguh al-Thabrani berkata (setelah al-Thabrani menyebut semua jalur riwayatnya): Riwayat ini sahih”(Majma’ al-Zawaid II/565)
Ibnu Taimiyah (pimpinan kelompok anti tawassul) menilai riwayat ini sahih:
فَمَعْلُوْمٌ أَنَّهُ إذَا ثَبَتَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَوْ غَيْرِهِ أَنَّهُ جَعَلَ مِنْ الْمَشْرُوْعِ الْمُسْتَحَبِّ أَنْ يُتَوَسَّلَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَاعِيًا لَهُ وَلاَ شَافِعًا فِيْهِ (مجموع الفتاوى 1 / 284)
“Maka telah maklum, sudah menjadi riwayat sahih dari Utsman bin Hunaif dan yang lain, bahwa ia telah memberlakukan dan menganjurkan bertawassul kepada Nabi Muhammad Saw setelah beliau wafat, tanpa menjadikan Nabi sebagai seorang yang mendoakan…” (Majmu’ al-Fatawa I/284)
Bahkan Ibnu Taimiyah (pimpinan kelompok anti tawassul) juga mengutip doa tawassul seperti diatas dan ia mengatakan bahwa ulama salaf membacanya, yaitu:
رَوَى ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا فِي كِتَابِ ( مُجَابِي الدُّعَاءِ) قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو هَاشِمٍ سَمِعْتُ كَثِيرَ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ رِفَاعَةَ يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إلَى عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ أَبْجَرَ فَجَسَّ بَطْنَهُ فَقَالَ بِك دَاءٌ لاَ يَبْرَأُ . قَالَ مَا هُوَ ؟ قَالَ الدُّبَيْلَةُ . قَالَ فَتَحَوَّلَ الرَّجُلُ فَقَالَ اللهَ اللهَ اللهَ رَبِّي لاَ أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا اللَّهُمَّ إنِّي أَتَوَجَّهُ إلَيْك بِنَبِيِّك مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا يَا مُحَمَّدُ إنِّي أَتَوَجَّهُ بِك إلَى رَبِّك وَرَبِّي يَرْحَمُنِي مِمَّا بِي . قَالَ فَجَسَّ بَطْنَهُ فَقَالَ قَدْ بَرِئَتْ مَا بِكَ عِلَّةٌ . قُلْتُفَهَذَا الدُّعَاءُ وَنَحْوُهُ قَدْ رُوِيَ أَنَّهُ دَعَا بِهِ السَّلَفُ وَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ فِي مَنْسَكِ الْمَرْوَذِي التَّوَسُّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الدُّعَاءِ وَنَهَى عَنْهُ آخَرُونَ  (مجموع الفتاوى 1 / 264 وقاعدة جليلة في التوسل والوسيلة 2 / 199)
“Ibnu Abi al-Dunya meriwayatkan (dalam kitabnya Mujabi al-Dua’) dari Katsir bin Muhammad: Ada seorang laki-laki datang ke Abdul Malik bin Said bin Abjar. Abdul Malik memegang perutnya dan berkata: Kamu mengidap penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Lelaki itu bertanya: Penyakit apa? Ia menjawab: Penyakit “dubailah” (semacam tumor dalam perut). Kemudian laki-laki tersebut berpaling dan berdoa: Allah Allah Allah.. Tuhanku, tiada suatu apapun yang yang menyekutuinya. Ya Allah, saya menghadap kepadaMu dengan nabiMu Muhammad Nabi yang rahmat Saw. Wahai Muhammad saya menghadap pada Tuhanmu denganmu (agar) Tuhanku menyembuhkan penyakitku. Lalu Abdul Malik memegang lagi perutnya dan ia berkata: Penyakitmu telah sembuh. Saya (Ibnu Taimiyah) berkata: Doa semacam ini diriwayatkan telah dibaca oleh ulama salaf, dan diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal dalam al-Mansak al-Marwadzi bahwa beliau bertawassul dengan Rasulullah Saw dalam doanya. Namun ulama yang lain melarang tawassul”(Majmu’ al-Fatawa I/264 dan al-Tawassul wa al-Wasilah II/199)

- Bilal bin Haris al-Muzani
وَرَوَى اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ مَالِك الدَّارِيّ – وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ – قَالَ أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَر فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ ِلأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ اِئْتِ عُمَرَ … الْحَدِيثَ . وَقَدْ رَوَى سَيْفٌ فِي الْفُتُوحِ أَنَّ الَّذِيْ رَأَى الْمَنَامَ الْمَذْكُورَ هُوَ بِلاَلُ بْنُ الْحَارِثِ الْمُزَنِيُّ أَحَدُ الصَّحَابَةِ (الحافظ ابن حجر في فتح الباري شرح البخاري 3 / 441 وابن عساكر تاريخ دمشق ج 56 / ص 489 )
“Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadis dengan sanad yang sahih dari Abi Shaleh Samman, dari Malik al-Dari (Bendahara Umar), ia berkata: Telah terjadi musim kemarau di masa Umar, kemudian ada seorang laki-laki (Bilal bin Haris al-Muzani) ke makam Rasulullah Saw, ia berkata: Ya Rasullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, sebab mereka akan binasa. Kemudian Rasulullah datang kepada lelaki tadi, beliau berkata: Datangilah Umar…. Saif meriwayatkan dalam kitab al-Futuh lelaki tersebut adalah Bilal bin Haris al-Muzani salah satu Sahabat Rasulullah” (al-Hafidz Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarah al-Bukhari III/441 dan Ibnu ‘Asakir,Tarikh Dimasyqi, 56/489)

C. Bentuk-Bentuk Tawassul
  1. Menggunakan lafadz bi haqqi (dengan haknya), bi jahi (dengan kedudukannya), bi karamati (dengan keramatnya) dan sebagainya.
- بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلاَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي (رواه الطبراني باسناد حسن)
- اللَّهُمَّ اِنِّي اَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَاَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ (رواه ابن ماجه واحمد على شرط الحسن)
- بِجَاهِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِكَرَامَةِ الشَّيْخِ ….

  1. Menggunakan huruf Ya’ Nida’ untuk memanggil disertai permintaan.
- يَا مُحَمَّدُ اِسْتَسْقِ ِلاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا (رواه ابن ابي شيبة باسناد صحيح)
- سَلاَمُ اللهِ يَا سَادَةْ ☼ مِنَ الرَّحْمَنِ يَغْشَاكُمْ
- عِبَادَ اللهْ رِجَالَ اللهْ ☼  اَغِيْثُوْنَا ِلاَجْلِ اللهْ
وَيَا اَقْطَابْ وَيَا اَنْجَابْ ☼  وَيَا سَادَاتْ وَيَا اَحْبَابْ

  1. Menggunakan huruf Jarr Ba’.
- اللَّهُمَّ إنِّي أَتَوَجَّهُ إلَيْك بِنَبِيِّك مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيَقْضِي لِي حَاجَتِي (رواه الحاكم والترمذي بسند صحيح ورواه الطبراني بسند صحيح موقوفا على عثمان بن حنيف)
- اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِمُحَمَّدٍ نَبِيِّكَ وَإِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلِكَ وَمُوْسَى نَجِيِّكَ وَعِيْسَى كَلِمَتِكَ وَرُوْحِكَ وَبِتَوْرَاةِ مُوْسَى وَإِنْجِيْلِ عِيْسَى وَزَبُوْرِ دَاوُدَ وَفُرْقَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ (رواه ابو الشيخ ابن حبان في الثواب بسند ضعيف كما في احياء علوم الدين للامام الغزالي 1 / 314)
- يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا ☼ وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الْكَرَمِ
- تَوَسَّلْنَا بِبِسْمِ الله  ☼  وَبِالْهَادِي رَسُوْلِ الله
وَكُلِّ مُجَاهِدٍ ِلله  ☼  بِأَهْلِ الْبَدْرِ يَا اَلله
- اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِي تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ … الخ


[1]  Ketua Lembaga Bahtsul Masail PCNU Kota Surabaya 2010-2015. Makalah ini disampaikan dalam kajian MWC NU Kec. Gunung Anyar Surabaya, 20 Agustus 2011 M / 20 Ramadlan 1432 H. Materi ini adalah ringkasan dari buku LBM ‘Kajian Tawassul’

[2]  Para sahabat mengajarkan bertawassul kepada Rasulullah Saw setelah beliau wafat, ada yang bertawassul di makam Rasulullah Saw seperti Bilal bin Harits al-Muzani, atau di tempat lain seperti yang diajarkan oleh Utsman bin Hunaif. Kalaulah Tawassul dihukumi haram apalagi syirik, tidak mungkin para sahabat ini melakukannya dan sudah pasti akan dilarang oleh Rasulullah Saw.

0 komentar

Posting Komentar