Jumat, 10 Juli 2015

WASIAT & PERNYATAAN PARA IMAM AHLU SUNNAH TENTANG ITTIBA' DAN LARANGAN BERBUAT BID'AH

Wasiat dan Pernyataan Para Imam Ahlus Sunnah Tentang Berittiba’ dan Larangan Berbuat Bid’ah

1. Muadz bin Jabal rådhiyallåhu ‘anhu berkata, 

“Wahai manusia, raihlah ilmu sebelum ilmu tersebut diangkat! Ingatlah bahwa diangkatnya ilmu itu dengan wafatnya ahli ilmu. Hati-hatilah kamu terhadap bid’ah tanaththu’ (melampaui batas). Berpegang teguhlah pada urusan kamu yang terdahulu (berpegang teguhlah pada al-Qur’an dan as-Sunnah).”(Al-Bida’wan Nahyu ‘Anha oleh Ibnu Wadhdhah no.65)


2. Hudzaifah bin al-Yaman rådhiyallåhu ‘anhu berkata, 

“Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Sahabat Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam sebagai ibadah, maka janganlah kamu lakukan! Karena generasi pertama itu tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk berpendapat (dalam masalah agama). Bertakwalah kepada Allah wahai para qurra’ (ahlul qira’ah) dan ambillah jalan orang-orang sebelum kami!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah)

3. Abdullah bin Mas’ud rådhiyallåhu ‘anhumaa berkata, 

“Barangsiapa mengikuti jejak (seseorang) maka ikutilah jejak orang-orang yang telah wafat, mereka adalah para Sahabat Muhammad shållallåhu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah sebaik-baik ummat ini, paling baik hatinya, paling dalam ilmunya dan paling sedikit berpura-pura. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya shållallåhu ‘alaihi wasallam dan menyebarkan agamanya, maka berusahalah untuk meniru akhlak dan cara mereka. Karena mereka telah berjalan diatas petunjuk yang lurus. (Dikeluarkan oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah (I/214) dan Ibnu ‘Abdil Baar dalam kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/947 no.1810), tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairi.)

Dan juga beliau rådhiyallåhu ‘anhumaa, berkata, 

“Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh bagi kalian telah cukup, berpegang teguhlah pada urusan yang terdahulu (maksudnya al-Qur’an dan as-Sunnah)(Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/69), al-Lalika –I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/96 no.104), at-Thabrani fil Kabir no.8770, dan Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah no.175).

4. ‘Abdullah bin ‘Umar rådhiyallåhu ‘anhumaa berkata, 

“Senantiasa manusia berada diatas jalan (yang lurus) selama mereka mengikuti atsar” (Dikeluarkan oleh Imam al-Lalika-I dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.101.

Dan beliau juga berkata, 

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia mengaggapnya baik” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra (I/180) no.191, Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah no.205 dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah).

5. Sahabat yang mulia Abu Darda’ rådhiyallåhu ‘anhu berkata, 

“Kamu tidak akan tersesat selama kamu mengikuti atsar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.232.

6. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib rådhiyallåhu ‘anhu berkata, 

“Seandainya agama itu (berdasarkan) akal, maka pasti bagian bawah sepatu khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi saya melihat Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atasnya.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab al-Mushannaf dan dengan lafazh yang hampir sama dikeluarkan oleh Abu Dawud no.162, ad-Daraquthni

7. Abdullah bin Amr bin Ash rådhiyallåhu ‘anhumaa berkata, 

“Tidak ada suatu bid’ah yang dilakukan melainkan bid’ah tersebut semakin bertambah banyak. Dan tidak ada suatu sunnah yang dicabut melainkan sunnah tersebut bertambah jauh.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.227 dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.128.)

8. Dari Abis bin Rabi’ah berkata : 

“Saya melihat Umar bin al-Khaththab rådhiyallåhu ‘anhu mencium Hajar Aswad seraya berkata :“Sesungguhnya saya mengetahui bahwa kamu adalah sebuah batu yang tidak dapat memberi mudharat maupun manfaat. Senadainya saya tidak melihat Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam meniummu pasti saya tidak menciummu.” (HR. al-Bukhari no.1597 dan Muslim no.1270 (248) dari Sahabat Umar bin al-Khaththab.)

9. Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz råhimahullåh berkata, 

“Berhentilah kamu di mana para Sahabat berhenti (dalam memahami nash), karena mereka berhenti berdasarkan ilmu dan dengan penglihatan yang tajam mereka menahan (diri). Mereka lebih mampu untuk menyingkapnya dan lebih patut dengan keutamaan.”
“Seandainya hal tersebut ada di dalamnya. Jika kamu katakan, ‘Terjadi (suatu bid’ah) setelah mereka’. Maka tidak diada-adakan kecuali oleh orang yang menyelisihi petunjuknya dan membeci sunnah.
“Sungguh mereka telah menyebutkan dalam petunjuk itu apa yang melegakan (dada) dan mereka sudah membicarakannya dengan cukup. Maka apa yang diatas mereka, adalah orang yang melelahkan diri. Dan apa yang dibawahnya, adalah orang meremehkan.”
“Sungguh ada suatu kaum yang meremehkan mereka, lalu mereka menjadi kasar. Dan ada pula yang melebihi batas mereka, maka mereka menjadi berlebih-lebihan.”
“Sungguh para sahabat itu, diantara kedua jalan itu (sikap meremehkan dan berlebih-lebihan), tentu diatas petunjuk yang lurus.”
(Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Lum’atul I’tiqadil Hadi Ila Sabilir Rasyad yang disyarah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal.41 cet.Maktabah Adhwa-us Salaf, th. 1415 H.

10. Imam al-Auza’i råhimahullåh berkata, 

“Hendaklah engkau berpegang dengan atsar orang pendahulu (Salaf) meskipun orang-orang menolakmu dan jauhkanlah dirimu dari pendapat para tokoh meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataan yang mudah, sesungguhnya hal itu akan jelas sedang kamu berada diatas jalan yang lurus. (Dikeluarkan oleh al-Khatib dalam kitab Sarah Ashhabul Hadits. (Imam al-Ajurry dalam as-Syari’ah (I/445) no.127 dishahihkan oleh al-Albani dalam Mukhtashar al-Uluw lil mam adz-Dzahabi hal.138, Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/120) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1071) no.2077)

11. Ayub as-Sakhtiyani råhimahullåh berkata, 

“Tidaklah Ahlul Bid’ah itu bertambah sungguh-sungguh (dalam bid’ahnya), melainkan semakin bertambah pula kejauhannya dari Allah” (Dikeluarkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam al-Bida’wan Nahyu Anha no.70

12. Hasan bin Athiyyah råhimahullåh berkata, 

“Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agamanya melainkan tercabut dari sunnah mereka seperti itu pula.” (dikeluarkan oleh al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.129.)

13. Muhammad bin Sirin råhimahullåh berkata, 

“Orang salaf pernah mengatakan : “Selama seseorang berada diatas atsar, maka pastilah dia diatas jalan (yang lurus).” (Dikeluarkan oleh al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiwaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.109 dan Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.241.

14. Sufyan ats-Tsauri råhimahullåh berkata : 

“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan dan pelaku kemaksiatan masih mungkin dia untuk bertaubat dari kemaksiatannya sedangkan pelaku bid’ah sulit untuk bertaubat dari bid’ahnya”. (Dikeluarkan oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.238)
15. Abdullah bin al Mubarak råhimahullåh berkata, 

“Hendaknya kamu bersandar pada atsar dan ambillah pendapat yang dapat menjelaskan hadits untukmu.” (Dikeluarkan oleh al-Bahawi dalam kitab sunan al-Kubra)

16. Imam asy-Syafi’i råhimahullåh berkata, 

“Semua masalah yang telah saya katakan tetapi bertentangan dengan sunnah, maka saya rujuk saat hidupku dan setelah wafatku.” (Dikeluarkan oleh al Khatib dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih dan tercantum juga dalam Manaaqib asy Syafi’i, (I/473) dan Tawali at-Tas’sis hal.93).

Rabi’ bin Sulaiman berkata : 

“Imam asy-Syafi’I pada suatu hari meriwayatkan hadits, lalu seseorang berkata kepada beliau : ‘Apakah kamu mengambil hadits ini wahai Abu ‘Abdillah?’ Beliau menjawab : “Bilamana saya meriwayatkan suatu hadits yang shahih dari Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam lalu saya tidak mengambilnya, maka saya bersaksi di hadapan kalian bahwa akalku telah hilang” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah dan tercantum juga dalam Adab asy-Syafi’I hal. 67, al-Manaaqib asy-Syafi’i, (I/474) dan Hilyah al-Auliya (IX/106).

17. Dari Nuh al Jaami’ berkata : 

Saya bertanya kepada Abu Hanifah råhimahullåh: Apakah yang Anda katakan terhadap perkataan yang dibuat-buat oleh orang-orang, seperti A’radh dan Ajsam”
Beliau menjawab “Itu adalah perkataan orang-orang ahli filsafat. Berpegang teguhlah pada atsar dan jalan orang salaf. Dan waspadalah terhadap segala sesuatu yang diada-adakan, karena hal tersebut adalah bid’ah” (Dikeluarkan oleh al Khatib dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih. Lihat manhaj Imam asy-Syafi’I fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/75) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Aqill.)

18. Imam Malik bin Anas råhimahullåh berkata, 

“Sunnah itu bagaikan bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa mengendarainya niscaya dia selamat. Dan barangsiapa terlambat dari bahtera tersebut pasti dia tenggelam.”
Dan beliau juga berkata, “Seandainya ilmu kalam itu merupakan ilmu, niscaya para sahabat dan Tabi’in berbicara tentang hal itu sebagaimana mereka bicara tentang hukum dan syari’at, akan tetapi ilmu kalam itu bathil yang menujukkan kepada kebathilan.”
Dari Ibnu Majisyuun, dia berkata : “Saya mendengar Malik berkata: “Barangsiapa berbuat suatu bid’ah dalam Islam lalu ia menganggapnya sebagai suatu kebaikan, berarti ia telah menyangka bahwa Muhammad shållallåhu ‘alaihi wasallam telah berkhianat terhadap risalah. Karena llah telah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu…” Maka apa-apa yang saat itu tidak merupakan agama, maka pada saat ini juga tidak merupakan agama”

19. Imam Ahmad bin Hanbal råhimahullåh berkata : 

“Pokok Sunnah menurut kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah : Berpegang teguh pada apa yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam dan mengikuti mereka serta meninggalkan bid’ah. Segala bid’ah itu adalah sesat.”

20. Dari al-Hasan al-Bashri råhimahullåh berkata : 

“Seandainya seseorang mendapatkan generasi Salaf yang pertama kemudian dia yang dibangkitkan (dari kuburnya) pada hari ini, dimana orang tersebut tidak mengenal tentang Islam dan beliau shalat saja “Kemudian berkata “Demi Allah, tidaklah yang demikian itu merupakan suatu bentuk keterasingan bagi setiap orang yang hidup dan dia tidak mengetahui tentang generasi Salafush Shalih, Lalu ia melihat orang ahlul bid’ah mengajak kepada bid’ahnya dan melihar orang ahli dunia menyeru kepada dunianya. Lalu orang (yang dalam keterasingan itu) dipelihara oleh Allah dari firnah tersebut. Allah jadikan hatinya rindu kepada Salaush Shalih itu, ia bertanya tentang mereka, menapaki jejak mereka, dan mengkuti jalan mereka, maka pasti Allah akan memberikan kepadanya pahala yang besar. Oleh karena itu, jadilah kalian seperti itu, insya Allah.”

21. Alangkah indahnya ungkapan orang seorang laim yang mengamalkan ilmunya yaitu al Fudhail bin ‘Iyadh råhimahullåh berkata : 

“Ikutilah jalan-jalan kebenaran itu,, dan jangan hiraukan walaupun sedikit orang yang mengikutinya ! jauhkanlah dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah terpesona dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan!”

22. Abdullah bin Umar rådhiyallåhu ‘anhumaa berkata kepada seorang yang bertanya kepada beliau tentang suatu perkara, lalu orang tersebut berkata : 

“sesungguhnya ayahmu telah melarangnya. Lalu Abdullah menjawab :“Apakah perintah Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam yang lebih berhak untuk diikuti ataukah perintah ayahku?”
Abdullah bin Umar rådhiyallåhu ‘anhumaa adalah Sahabat yang paling keras dalam menentang segala macam bid’ah dan beliau sangat senang dalam mengikuti as-Sunnah. Pada suatu saat beliau mendengar seseorang bersin dan berkata: “Alhamdulillah washaltu wasalmu ala Rasulillah”. Lalu bacalah shalawat Abdullah bin Umar :“Bukan demikian rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam mengajari kita, akan tetapi beliau bersabda: Jika salah satu diantara kamu bersin, maka pujilah Allah (dengan mengucapkan) : alhamdulillah, dan beliau tidak mengatakan : Lalu bacalah shalwat kepada Rasulullah!”

23. Abdullah bin Abbas rådhiyallåhu ‘anhumaa berkata kepada orang yang menentang sunnah dengan ucapan Abu Bakar dan Umar rådhiyallåhu ‘anhumaa, 

“Nyaris turun hujan batu dari langit atas kamu; saya berkata kepadamu: ‘Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam bersabda’, sedang kamu berkata, ‘(tapi) Abu Bakar dan Umar berkata’.
Sungguh benar Abdullah bin Abbas rådhiyallåhu ‘anhumaa dalam mensifati Ahlus Sunnah dimana beliau mengatakan : “Melihat kepada seorang dari Ahlus Sunnah, itu dapat mendorong kepada as-Sunnah dan mencegah dari bid’ah”.

24. Sufyan ats-Tsauri råhimahullåh berkata : 

“Jika sampai kepadamu kabar tentang seseorang dibelahan tirumu bumi bahwa dia Ahlus Sunnah, maka kirimkanlah salam kepadanya; karena Ahlus Sunnah itu sedikit jumlahnya.”

25. Ayub as-Sakhtiyani råhimahullåh berkata, 

“Sesungguhnya jika saya dikabari tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan aku merasa kehilangan sebagian organ tubuhku.”

26. Ja’far bin Muhammad berkata : 

“Saya pernah mendengar Qutaibah råhimahullåh berkata : ‘Jika kamu melihat orang yang mencintai Ahlus Hadits seperti : Yahya bin Said, Abdurrahman bin Madi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih …. Dan lain-lain, maka dialah Ahlus Sunnah. Dan barang siapa menyelisihi mereka, maka ketahuilah sesungguhnya dia adalah mubtadi’ ”

27. Ibrahim an Nakha’i råhimahullåh berkata : 

“Seandainya para sahabat Muhammad shållallåhu ‘alaihi wasallam mengusap kuku, pasti saya tidak membasuhnya; untuk mencari keutamaan dalam mengikuti mereka”.

28. Abdullah bin Mubarak råhimahullåh berkata : 

“Ketahuilah wahai saudaraku bahwa kematian seorang Muslim untuk bertemu Allah diatas sunnah pada hari ini merupakan suatu kehormatan, lalu (kita ucapkan) ; Innaa illahi Wainnaa Ilaihi Rajiun’ (sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya), maka kepada Allah-lah kita mengadu atas kesepian diri kita, kepergian saudara, sedikitnya penolong dan munculnya bid’ah. Dan kepada Allah pulalah kita mengadu atas beratnya cobaan yang menimpa pada ummat ini berupa kepergian para ulama dan Ahlus Sunnah serta munculnya bid’ah.”

29. Al-Fudhail bin ‘Iyad råhimahullåh berkata : 

“Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang dengan mereka Dia menghidupkan negeri, mereka adalah Ashhabus Sunnah.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Lalika-i dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.51)

30. Alangkah benarnya perataan dan sebutan Imam asy-Syafi’I råhimahullåh terhadap Ahlus Sunnah, seraya berkata : 

“Jika aku melihat seseorang dari ashhabul haduts (ahli hadits), maka seakan-akan aku melihat seseorang dari Sahabat Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam”

31. Imam Malik bin Anas råhimahullåh telah meletakkan suatu kaidah yang agung yang meringkas semua yang telah kami sebutkan di atas dari ucapan para imam dalam ungkapannya : 

Tidak akan dapat memperbaki generasi akhir dari ummat ini kecuali apa yang telah dapat memperbaiki generasi terdahulu. Maka apa yang pada saat itu bukan merpakan agama, demikian pula tidak dianggap agama pada hari ini.”
Itulah ucapan sebagian para Imam Salafush Shalih dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka adalah orang yang paling suka memberikan nasehat kepada manusia, yang paling baik bagi ummatnya dan yang paling mengerti dengan kemaslahatan dan petunjuk bagi manusia.
Mereka mewasiatkan kepada kita agar kita senantiasa berpegang teguh pada Kitabullåh dan Sunnah Råsul-Nya shållallåhu ‘alaihi wasallam, dan memperingatkan kita dari perkara yang diada-adakan dan bid’ah serta mengabarkan seperti Nabi shållallåhu ‘alaihi wasallam mengajari mereka bahwa jalan keslamatan adalah dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi shållallåhu ‘alaihi wasallam dan petunjuknya.


Sumber: 

Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm.237 – 251.
http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=876&Itemid=4

0 komentar

Posting Komentar