Kamis, 17 April 2014

Mengobati Hawa Nafsu

Al-Imam Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
Hawa Nafsu adalah kecenderungan jiwa terhadap apa-apa yang sesuai dengan kehendaknya, kecenderungan ini telah diciptakan di dalam jiwa manusia demi keberlangsungan hidup mereka hal tersebut karena apabila tidak ada kecenderungan (nafsu) terhadap makanan, minuman dan kebutuhan biologis (nikah) maka mereka tidak akan makan, tidak minum dan tidak pula menikah. Nafsu mendorongnya terhadap apa yang dikehendakinya itu. Sebagaimana amarah mencegahnya dari hal-hal yang menyakitinya dengan demikian tidak boleh mencela hawa nafsu secara mutlak dan tidak boleh pula memujinya secara mutlak. Sebagaimana rasa amarah
tidak boleh dicela secara mutlak dan tidak pula dipuji secara mutlak. Namun karena kebisaaan orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan emosinya tidak dapat berhenti sampai pada batas yang bermanfaat saja maka dari itulah hawa nafsu, syahwat dan amarah dicela, karena besarnya mudharat (keburukan) yang ditimbulkannya. Dan juga jarang sekali ditemui orang yang dapat berlaku adil dan berhenti pada batas positif bila telah dikuasai oleh hawa nafsu, syahwat dan amarah. Sebagaimana pula sangat jarang ditemui tabiat yang lurus dalam segala kondisi. Salah satu dari unsur-unsur yang ada pasti menguasai dirinya. Jarang sekali seseorang dapat meluruskan potensi syahwat dan amarahnya dalam segala keadaan, barangkali hanya segelintir orang saja yang bisa. Oleh sebab itulah Allah ta’ala selalu mencela hawa nafsu dalam Kitab-Nya. Demikian juga dalam Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selalu dicela oleh Rasul, selain beberapa hal yang dikecualikan, misalnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَايُئْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidak sempurna iman kalian hingga menjadikan hawa nafsunya selalu tunduk mengikuti ajaran yang ku bawa.” [Al-Hadits]
Ada yang mengatakan: hawa nafsu itu selalu mengintai maka janganlah mudah mempercayainya.
Asy-Sya’bi berkata: disebut hawa nafsu karena selalu mengajak pemiliknya, jika dilepas akan menggiring kepada kelezatan dunia tanpa memikirkan akibatnya. Hawa nafsu mengajaknya supaya mengejar tuntutan syahwat dunia meskipun merupakan penyebab datangnya berbagai macam kepedihan di dunia dan akhirat. Akibat di dunia tentunya lebih dahulu dirasakan sebelum disiksa di akhirat. Hawa nafsu membuat pengikutnya buta hingga tidak dapat memperhatikan hal tersebut. Rasa malu, agama dan akal sehat tentu menolak kelezatan yang membuahkan kepedihan, kepuasan syahwat yang berakhir penyesalan. Jika ia ingin memperturutkan kehendak hawa nafsunya maka rasa malu, agama dan akal sehat serempak berbicara dan mengatakan kepada dirinya: “Jangan lakukan itu!” Ketaatan hanyalah milik orang-orang yang berhasil mengalahkan hawa nafsunya. Tidakkah engkau lihat, anak kecil lebih suka memperturutkan apa yang dikehendaki oleh nafsunya meski menjerumuskannya dalam bahaya. Itu disebabkan fungsi akalnya masih lemah. Orang yang tidak mengindahkan aturan agama pasti lebih suka memperturutkan hawa nafsunya meski menjerumuskannya ke dalam kebinasaan di akhirat. Itu disebabkan karena lemahnya pengaruh agama pada dirinya. Orang yang tidak punya rasa malu tentu lebih suka memperturutkan hawa nafsunya mesikpun kehormatannya ternodai atau hilang sama sekali. Hal itu disebabkan lemahnya rasa malu dalam dirinya. Orang-orang seperti itu sangat jauh dari apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah:
لو علمت أن الماء البارد يثلم مروءتي لما شربته
“Sekiranya meminum air putih itu mengotori kehormatanku niscaya aku tidak akan meminumnya.”
Sehubungan orang yang terkena beban syariat selalu diuji dengan hawa nafsu, tidak seperti hewan dan setiap saat ia mengalami berbagai macam gejolak, maka ia harus memiliki dua peredam, yaitu akal sehat dan agama. Ia diperintahkan agar mengangkat seluruh gejolak hawa nafsu kepada agama dan akal sehat. Dan hendaknya ia selalu memathui keputusan kedua peredam itu. Ia harus selalu berlatih menolak tuntutan hawa nafsu yang tersembunyi dan berbahaya. Ia harus berlatih menginggalkan hal-hal yang buruk akibatnya.

Jika anda bertanya: Bagaimanakah jalan keluarnya agar ia dapat melepaskan diri dari hawa nafsu sedang ia sudah terjerat di dalamnya? Jawabannya adalah: ia bisa terlepas dari jeratan hawa nafsu dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya melalui terapi berikut ini:
  • Pertama: Tekad membara yang membakar kecemburuannya terhadap dirinya sendiri.
  • Kedua: Seteguk kesabaran untuk memotivasi dirinya agar bersabar atas kepahitan yang dirasakan saat mengekang hawa nafsu.
  • Ketiga: Kekuatan jiwa untuk menumbuhkan keberaniannya meminum seteguk kesabaran itu. Karena hakikatnya keberanian itu adalah sabar barang sesaat! Sebaik-baik bekal dalam hidup seorang hamba adalah sabar.
  • Keempat: Selalu memperhatikan hasil yang baik dan kesembuhan yang didapat dari seteguk kesabaran.
  • Kelima: Selalu mengingat pahitnya kepedihan yang dirasakan daripada kelezatan menuruti kehendak hawa nafsu.
  • Keenam: Kedudukan dan martabatnya di sisi Allah dan di hati para hamba-Nya lebih baik dan lebih berguna daripada kelezatan mengikuti tuntutan hawa nafsu.
  • Ketujuh: Hendaklah lebih mengutamakan manis dan lezatnya menjaga kesucian diri dan kemuliaannya daripada kelezatan maksiat.
  • Kedelapan: Hendaklah bergembira dapat mengalahkan musuhnya, membuat musuhnya merana dengan membawa kemarahan, kedukaan dan kesedihan! Karena gagal meraih apa yang diinginkannya. Allah ta’ala suka kepada hamba yang dapat memperdaya musuhnya dan membuatnya marah (kesal).
Allah ta’ala berfirman:
وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
“Dan tidaklah (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang yang kafir dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskan bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shaleh.” (QS. At-Taubah: 120)
Allah berfirman:
لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
“Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)” (QS. Al-Fath: 29)
Dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ?
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. An-Nisaa: 100)
Yaitu tempat yang mana ia dapat menaklukan musuh-musuh Allah di situ. Salah satu tanda cinta yang benar adalah membuat kemarahan musuh kekasih yang dicintainya itu dan menaklukkannya.
  • Kesembilan: Senantiasa berpikir bahwa ia diciptakan bukan untuk memperturutkan hawa nafsu. Namun ia diciptakan untuk sebuah perkara yang besar. Perkara yang tidak dapat diraihnya kecuali dengan menyelisihi hawa nafsu.
Seorang penyair berkata:
“Seandainya engkau sadar, engkau telah dipersiapkan untuk menghadapi perkara besar. Maka berhati-hatilah, jangan sampai engkau merumput bersama hewan ternak.”
  • Kesepuluh: Janganlah sampai hewan ternak lebih baik keadaannya daripada dirimu! Sebab dengan tabiat yang dimilikinya hewan ternah tahu mana yang berguna bagi dirinya dan mana yang berbahaya. Hewan ternak lebih mendahulukan hal-hal yang berguna daripada hal-hal yang berbahaya. Manusia telah diberi akal untuk membedakannya. Jika ia tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang berbahaya atau ia mengetahui namun lebih mendahulukan yang membahayakan dirinya maka jelas hewan ternak lebih baik daripada dirinya.
  • Kesebelas: Hendaklah ia selalu mengajak hatinya berdiskusi tentang akibat memperturutkan hawa nafsu. Mengajaknya untuk memperhatikan berapa banyak nilai keutamaan yang terluput akibat perbuatan maksiat. Betapa sering ia tergelincir ke dalam jurang kehinaan akibat perbuatan maksiat. Berapa banyak makanan terlarang yang menyebabkan dirinya tidak dapat mencicipi berbagai jenis makanan lainnya. Barapa banyak kelezatan terlarang yang menyebabkan dirinya tidak dapat merasakan berbagai jenis kelezatan lainnya. Barapa banyak tuntutan syahwat yang merusak kehormatan, menjatuhkan wibawa, merusak nama, mendatangkan celaan, kehinaan dan aib yang tidak dapat dicuci dengan air sekalipun, sebabnya tidak lain mata hati pengikut hawa nafsu itu telah buta.
  • Keduabelas: Hendaklah akal sehat kita membayangkan akibat yang ditimbulkan setelah memperturutkan hawa nafsu. Kemudian hendaklah dibayangkan pula untung rugi yang diterimanya setelah memuaskan tuntutan hawa nafsunya.
  • Ketigabelas: Hendaklah ia benar-benar membayangkan hal itu terjadi pada orang lain, kemudian mencoba ia bayangkan bila hal itu menimpa dirinya. Karena dua hal yang sama pasti akan merasakan akibat yang sama pula.
  • Keempatbelas: Hendaklah ia mencermati apa yang menjadi tuntutan hawa nafsunya itu. Tanyakanlah kepada akal sehat dan ajaran agama, keduanya pasti mengatakan: “Tinggalkanlah! Hal itu tidak membawa manfaat.”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
إِذَا أَعْجَبَ أَحَدُكُمْ امرأةٌ فليذكر مَنَاتنها
“Jika kalian takjub (terpesona) melihat seorang wanita maka ingatlah keburukannya.”
  • Kelimabelas: Hendaknya selalu menamakan dalam dirinya kehinaan mengikuti hawa nafsu. Karena setiap orang yang mengikuti hawa nafsu pasti hina. Janganlah terpedaya dengan keangkuhan dan kseombongan para pengikut hawa nafsu, sebab secara batin mereka adalah manusia yang paling hina. Mereka telah mengumpulkan dua hal; (1) Kesombongan dan (2) Kehinaan.
  • Keenambelas: Hendaklah ia membandingkan antara kesucian agama, harga diri, harta dan kehormatan dengan kenikmatan sesaat yang dirasakannya. Ia pasti melihat perbedaan yang amat mencolok antara keduanya. Maka hendaklah ia ketahui bahwa manusia yang paling bodoh adalah yang mau menjual agama, harga diri dan kehormatan dengan kenikmatan sesaat.
  • Ketujuhbelas: Hendaklah ia selalu menanamkan dalam dirinya agar jangan berada di bawah kendali musuhnya. Sebab jika setan melihat lemahnya azam(tekad kuat) seorang hamba, lemah motivasinya, condong kepada hawa nafsu, maka setan berusaha mengalahkan dan menguasainya lalu setan mengekangnya dengan tali kekang hawa nafsu dan menggiringnya ke arah mana saja yang dikehendakinya. Apabila setan melihat kekuatan tekadnya, kemuliaan dirinya dan ketinggian motivasinya, maka setan enggan mengganggunya kecuali dengan mencuri-curi kesempatan saat hamba itu lengah.
  • Kedelapanbelas: Hendaklah ia ketahui bahwa apabila hawa nafsu telah mencampuri suatu perkara maka ia pasti merusaknya. Jika hawa nafsu itu menyusup ke dalam ilmu maka akan menyeretnya kepada bid’ah dan kesesatan. Hingga ia tergolong ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu. Jika menyusup ke dalam amal zuhud seseorang maka akan menyeretnya berbuat riya’ dan melanggar sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika menyusup ke dalam bab hokum, maka akan menghalanginya dari kebenaran. Jika menyusup ke dalam hal pembagian, maka akan mengeluarkannya dari sikap adil kepada perbuatan curang. Jika menyusup dalam bidang pemerintahan dan kekuasaan maka akan memaksanya berkhianat terhadap Allah dan terhadap kaum muslimin dengan mengangkat dan memberhentikan menurut selera hawa nafsunya. Jika menyusup dalam ibadah maka akan menyeret keluar dari ketaatan dan qurbah (taqarrub). Jika hawa nafsu telah menyertai suatu perkara pasti akan merusaknya.
  • Kesembilanbelas: Hendaklah ia mengetahi bahwa tidak ada jalan masuk bagi setan atas bani Adam kecuali melalui saluran hawa nafsu. Setan berputar-putar mengitarinya melihat dari jalan mana ia bisa masuk untuk merusak hati dan amalnya. Ia tidak menemukan jalan masuk kecuali melalui pintu hawa nafsu. Bila telah masuk, setan mengalir laksana racun mengalir dalam tubuhnya.
  • Keduapuluh: Allah ta’ala menempatkan hawa nafsu itu bertolak belakang dengan ajaran yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya. Mengikuti hawa nafsu bertolak belakang dengan mengikuti rasul-Nya. Allah telah membagi manusia menjadi dua golongan; (1) Para pengikut wahyu dan (2) para pengikut hawa nafsu. Penjelasan seperti ini banyak sekali kita temukan di dalam Al-Qur’an, seperti dalam firman Allah ta’ala:
فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءهُمْ
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka).“(QS. Al-Qashash: 50)
Dan firman Allah:
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ
“Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu…” (QS. Al-Baqarah: 120)
Dan masih banyak lagi ayat yang semakna dengan ini.
  • Keduapuluh Satu: Allah ta’ala menyamakan pengikut hawa nafsu dengan hewan-hewan hina secara lahir maupun batin. Adakalanya Allah menyamakan mereka seperti anjing, sebagaimana firman Allah:
وَلَ?كِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ? فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ
“Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing.” (QS. Al-A’raaf: 176)
Dan adakalanya menyamakan mereka seperti keledai, misalnya dalam firman Allah:
كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُسْتَنْفِرَةٌ فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ
“Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut,lari daripada singa.”(QS. Al-Muddatstsir: 50-51)
  • Keduapuluh dua: Pengikut hawa nafsu tidak layak diikuti. Ia tidak layak menjadi imam dan tidak pula menjadi pengikut. Karena sesungguhnya Allah telah mencopot para pengikut hawa nafsu dari kepemimpinan dan melarang untuk mentaatinya. Adapun dalil pencopotan pengikut hawa nafsu dari posisi kepemimpinan adalah firman Allah:
إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
“Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Baqarah: 124)
Yaitu janji-Ku berupa derajat kepemimpinan tidak akan didapat oleh orang-orang yang zhalim. Setiap orang yang mengikuti hawa nafsu pasti termasuk orang zhalim sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Tetapi orang-orang yang lalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan.” (QS. Ar-Ruum: 29).
Adapun dalil larangan mentaati pengikut hawa nafsu adalah firman Allah:
وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”(QS. Al-Kahfi: 28)
  • Keduapuluh tiga: Allah menempatkan pengikut hawa nafsu sejajar dengan para penyembah berhala. Allah berfirman:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.” (QS. Al-Furqan: 43)
Allah menyebutkan hal itu di dua tempat dalam kitab-Nya. Al-Hasan Al-Bashri berkata:
“Itulah orang munafik yang selalu menuruti kehendak hawa nafsunya.”
Beliau juga berkata: “Orang munafik yang menyembah hawa nafsunya, ia selalu menuruti tuntutan hawa nafsunya.”
  • Keduapuluh empat: Hawa nafsu adalah tirai yang mengelilingi Neraka Jahanam. Barangsiapa menerobos tirai itu niscaya ia akan terjerumus ke dalam lubang Jahannam. Dalam Shahihain diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
خُفَّتِ الجَنَّةُ بِالمَكَارِهِ وَخُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga itu dikelilingi dengan perkara-perkara yang dibenci sedangkan Neraka itu dikelilingi dengan syahwat.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Dalam sunan At-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ أَرْسَلَ جِبْرِيلَ إِلَى الْجَنَّةِ فَقَالَ : انْظُرْ إِلَيْهَا وَإِلَى مَا أَعْدَدْتُ لِأَهْلِهَا فِيهَا . قَالَ : ” فَجَاءَهَا وَنَظَرَ إِلَيْهَا وَإِلَى مَا أَعَدَّ اللَّهُ لِأَهْلِهَا فِيهَا . قَالَ : فَرَجَعَ إِلَيْهِ قَالَ فَوَعِزَّتِكَ لَا يَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ إِلَّا دَخَلَهَا . فَأَمَرَ بِهَا فَحُفَّتْ بِالْمَكَارِهِ ؛ فَقَالَ : ارْجِعْ إِلَيْهَا فَانْظُرْ إِلَى مَا أَعْدَدْتُ لأَهْلِهَا فِيهَا قَالَ فَرَجَعَ إِلَيْهَا فَإِذَا هِيَ قَدْ حُفَّتْ بِالْمَكَارِهِ فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ وَعِزَّتِكَ لَقَدْ خِفْتُ أَنْ لَا يَدْخُلَهَا أَحَدٌ . قَالَ : اذْهَبْ إِلَى النَّارِ فَانْظُرْ إِلَيْهَا وَإِلَى مَا أَعْدَدْتُ لِأَهْلِهَا فِيهَا فَإِذَا هِيَ يَرْكَبُ بَعْضُهَا بَعْضًا فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ : وَعِزَّتِكَ لَا يَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ فَيَدْخُلَهَا . فَأَمَرَ بِهَا فَحُفَّتْ بِالشَّهَوَاتِ؛ فَقَالَ : ارْجِعْ إِلَيْهَا . فَرَجَعَ إِلَيْهَا ، فَقَالَ : وَعِزَّتِكَ لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ لَا يَنْجُوَ مِنْهَا أَحَدٌ إِلَّا دَخَلَهَا
“Ketika Allah menciptakan Surga Allah mengutus malaikat Jibril ‘alaihissalaam kepadanya dan berkata: “Lihatlah Surga itu dan apa-apa yang telah Aku sediakan bagi penghuninya di dalamnya. Maka pergilah Malaikat Jibril melihat Surga dan apa-apa yang disediakan bagi penghuninya lalu kembali dan berkata; “Yaa Allah demi kemuliaan-Mu, setiap hamba-Mu yang mendengarnya pasti ingin memasukinya! Lalu Allah memerintahkan agar memagari Surga dengan perkara-perkara yang tidak disukai hawa nafsu. Lalu Allah berkata kepada Jibril: “Kembalilah dan lihatlah Surga itu!” Maka Jibrilpun kembali dan melihat Surga telah dikelilingi dengan perkara-perkara yang tidak disukai hawa nafsu. Setelah itu malaikat Jibril berkata; “Yaa Allah demi kemuliaan-Mu, aku khawatir tidak aka nada seorang pun dari hamba-Mu yang dapat memasukinya!” Lalu Allah berkata: “Pergilah melihat Neraka, dan lihatlah Neraka itu serta apa-apa yang telah Aku persiapkan bagi penghuninya!” Maka pergilah malaikat Jibril melihat Neraka dan melihat apa-apa yang dipersiapkan bagi penghuninya. Terlihat jilatan api Neraka itu saling menerkam satu sama lainnya. Melihat itu Jibril berkata; “Tidaklah seorang pun yang mendengarnya ingin memasukinya!” Lalu Allah memerintahkan agar memagarinya dengan syahwat. Allah berkata: “Lihatlah kembali Neraka itu!” Maka malaikat Jibril pun kembali melihat Neraka, ternyata Neraka telah dikelilingi dengan syahwat. Lalu Jibril kembali menemui Allah dan berkata; “Yaa Allah demi kemuliaan-Mu, aku khawatir tidak aka nada seorang pun dari hamba-Mu yang selamat darinya!” Imam At-Tirmidzi berkata, hadits ini hasan shahih.
  • Keduapuluh Lima: Orang yang mengikuti hawa nafsu dikhawatirkan terlepas keimanannya sementara ia tidak menyadarinya. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَواهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidaklah sempurna keimanan kalian hingga menjadikan hawa nafsunya tunduk mengikuti ajaran yang aku bawa”
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ : شَهَوَاتُ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَفُرُوجِكُمْ ، وَمُضِلاتُ الْهَوَى
“Perkara yang sangat aku takutkan atas kalian adalah syahwat yang menyimpang dikarenakan perut dan kemaluan kalian serta hawa nafsu yang menyesatkan.”
Artikel ini diambil dari sebuah kitab yang berjudul:
Judul Kitab: Asbaabut Takhallush Minal Hawa
Penulis: Imam Ibu Qayyim Al-Jauziyyah
Penerbit: Darul Wathan, KSA.

sumber:http://khazanahilmublog.wordpress.com/

0 komentar

Posting Komentar