Jumat, 11 April 2014

FATWA TEGAS DARI ULAMA BUYA HAMKA

TOLAK NATAL BERSAMA , TAHUN BARU DAN KRISTENISASI ~

INILAH FATWA ULAMA AHLUSUNNAH TEMPOE DOELOE.

COBA BANDINGKAN DGN ULAMA MASA KINI ...!??

~ Yaa Ayyuhal Muslimun ~

Ikhwah Fillah yg senantiasa di Rahmati oleh ALLAH TA'ALA.

BULAN Desember setiap tahunnya hadir dengan dua momentum besar bagi kaum Kristiani. Dua momentum itu adalah Perayaan Hari Natal, yang mereka sebut dengan hari kelahiran Yesus. Kemudian Tahun Baru Masehi, yang sebenarnya ini hari kelahiran Yesus yang sesungguhnya. Oleh akrena itu, kedua perayaan itu selalu diucapkan bersamaan, “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru”.

Ada sebuah kondisi yang dianggap mereka menguntungkan. Terlebih bagi sebagian kaum muslimin yang bermu’amalah dengan mereka. Baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Mereka selalu menggunakan momentum tersebut sebagai ukuran ketoleransian umat Islam di Indonesia. Minimalnya, ketika mereka mengucapkan ucapan hari Raya kepada kita dengan ucapan “Selamat Hari Raya Idul Fitri”, mereka ingin kita membalasnya di hari Raya Natal. Maksimalnya, kita umat Islam ikut Natalan bersama.

Antara Natal, Tahun Baru Masehi dan Fatwa Sang Buya Hamka

Insan LS Mokoginta, seorang Kristolog yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah Depok menuturkan, bahwa tanggal 25 Desember sebenarnya bukanlah hari kelahiran Yesus. Ini merupakan taktik teologis orang-orang Kristen pada masa lalu agar agama Kristen diterima oleh orang-orang Romawi Kuno yang selalu memperingati hari kelahiran Dewa Matahari pada tanggal 25 Desember.

Beliau melanjutkan, sebenarnya kelahiran Yesus adalah tanggal 1 Januari, makanya dinamakan Tahun Masehi, mesiah atau Al Masih. Karena jarak yang tidak terpaut jauh antara 25 Desember dengan 1 Januari, maka ucapan itupun disandingkan. Karenanya, bagi umat Islam sangat fatal jika ikut-ikutan mengucapkan kedua hari raya itu.

Hal ini telah jauh-jauh hari diperingatkan oleh Allahuyarham Buya Hamka ketika menjabat ketua MUI. Beliau, lewat lembaga MUI memfatwakan haramnya mengucapkan perayaan Natal dan ikut merayakannya. Sehingga Presiden Soekarno meminta agar beliau mencabut fatwa itu, dengan dalih kemajemukan Bangsa Indonesia, demi menjaga kerukunan Umat beragama. Lantas apa yang dilakukan Allahuyarham Buya Hamka? Apakah beliau mencabut fatwa MUI? Tidak! Beliau memilih mengundurkan diri menjadi Ketua MUI ketimbang mencabut Fatwa haram mengucapkan Natal dan ikut merayakannya. Subhanallah!

Natalan Bersama, Milik Siapa ?

Kita sering mendengar ataupun melihat, para tokoh agama ikut berkumpul untuk merayakan Natalan bersama. Ironisnya, hal itu menjadi salahsatu ukuran frekuensi toleransi beragama. Jika alasannya untuk menjaga kerukunan umat beragama, kenapa hanya Natalan yang menjadi ukuran? Toh, ketika umat Islam melakukan shalat ‘Ied di berbagai tempat, tidak ada sama sekali ‘Iedan bersama yang diikuti tokoh ataupun Umat Kristiani?

Jika kita telusuri kedalam teologi Kristiani, dalam internal mereka terjadi banyak sekte ataupun aliran. Uniknya, setiap Gereja merupakan sekte tersendiri bagi Gereja yang lainnya. Mereka saling hujat-menghujat, murtad-memurtadkan antara satu dengan yang lain. Misalkan, di salah satu wilayah di Bekasi, berjejer banyak Gereja hingga lebih dari tiga. Jika mereka memang tidak berbeda, kenapa mereka tidak membangun satu gereja besar saja untuk peribadahan mereka? Karenanya, sangat jarang, umat Kristiani jika keluar dari agama mereka memeluk agama lain, kebanyakan dari mereka keluar dari sekte Kristen dan masuk ke sekte yang lainnya.

Kita juga mungkin sering mendengar, umat Kristiani yang rebutan Jama’ah ataupun rebutan Gereja. Kenapa? Karena mereka sendiri menganggap berbeda (aliran) dengan kawan Kristianinya. Untuk meminimalisir konflik tersebut, dikalangan mereka diadakanlah acara “Natalan Bersama”. Meski berbeda sekte, diharapakan ketika momentum natalan bisa bersama-sama.

Karenanya, sangat ironis jika di antara umat Islam mau ikut acara Natalan bersama. Dia perlu berfikir sejenak, sekte Kristiani apa yang dianutnya ?

Siapakah Yang Tidak Toleran ?

Banyak umat Kristiani ataupun para punggawa Liberal menyatakan, bahwa Umat Islam Indonesia tidak toleran. Benarkah?

Jika kita mau membandingkan dengan Negara yang selalu dijadikan kiblat HAM, yaitu Amerika. Maka jelas, kitalah umat yang paling toleran. Misalkan dalam penaggalan kalender. Di Indonesia, semua agama memiliki hak yang sama ketika mereka akan merayakan hari keagamaannya. Semua yang berhubungan dengan itu, dimerahkan dan diliburkan.

Sedangkan di Amerika, tidak ada satupun perayaan agama Non-Kristen yang mereka masukan ke dalam kalender untuk menjadi hari libur mereka. Bahkan di Indonesia yang mayoritas Muslim, ketika menjelang Natal dan Tahun Baru disetiap pusat pembelanjaan dan media-media elektronik menghiasinya dengan warna-warni aroma Natal dan Tahun Baru yang kental. Bagaimana di Amerika? Apakah ketika bulan Ramadhan dan menjelang ‘Idul Fitri itu terjadi? So, siapakah yang tidak toleran?

Tips dari Seorang Kristolog .

Namun faktanya sekarang, diantara umat Islam selalu terjebak dengan kondisi atau momentum itu. Lantas bagaimanakah kita yang bersentuhan secara mu’amalah dengan orang-orang Kristen menghadapi perayaan tersebut?

Ustadz Insan LS Mokoginta memberiakn tips kepada umat Islam yang bersentuhan dengan Umat Kristiani apabila harus mengucapkan sesuatu ketika momentum itu hadir, baik lewat sms ataupun secara lisan. Ungkap beliau, kita jangan mau mengucapkan “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru”, tapi ucapkanlah “Semoga Allah Memberimu Hidayah Pada Hari Ini!”. Menurut Kristolog asal kelahiran Manado ini, bahwa do’a tersebut akan menjadi senjata bagi kita Umat Islam, toh mendo’akan kepada orang diluar Islam agar mendapat hidayah diperbolehkan asal masih hidup. Seperti yang pernah Rasul lakukan ketika mendo’akan agar Islam diperkuat oleh kekuatan Umar atau Abu Jahal.

Mereka pasti akan kaget mendengarnya, jika mereka tetap mempermasalahkan dengan mengatakan Umat Islam tidak toleransi. Maka ungkapkan saja fakta tadi antara fenomena Indonesia dan Amerika. Jika mereka masih ngeyel dengan menyatakan bahwa ucapan itu hanya sebauh kata-kata, toh tidak ada salahnya mengucapkannya. Maka, kita tinggal ajak saja mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, toh itu juga cuma kata-kata !

Di hadapan penguasa, Hamka bicara tegas menolak upaya-upaya Kristenisasi. Ia juga tegas melarang umat Islam mengikuti perayaan “Natal Bersama” yang menggunakan kedok toleransi.

Suatu hari menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 1969, dua orang perwira Angkatan Darat datang menemui Buya Hamka. Keduanya membawa pesan dari Presiden Soeharto, agar Hamka bersedia memberikan khutbah Ied di Masjid Baiturrahim, komplek Istana Negara, Jakarta. Hamka terkejut, karena disamping permintaan tersebut mendadak, ia heran mengapa istana memilihnya menjadi khatib, padahal pada waktu itu ia dikenal sebagai ulama yang dalam setiap ceramahnya selalu tegas mengeritik upaya-upaya Kristenisasi. Maklum, pada masa-masa awal Orde Baru, gurita Kristenisasi mulai membangun jejaringnya. Baik di tingkat elit kekuasaan, maupun aksi-aksi di lapangan.

Atas saran dan dukungan umat Islam, Buya Hamka akhirnya bersedia memenuhi permintaan istana. Umat ketika itu berharap, ulama asli Minangkabau ini bisa menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada para pejabat, terutama dalam menyikapi maraknya Kristenisasi. Inilah kali pertama Hamka, seorang mantan anggota Partai Masyumi, berkhutbah di Istana. Dari atas mimbar, ulama yang juga sastrawan ini menguraikan tentang bagaimana toleransi dalam pandangan Islam. Islam sangat menghargai agama lain, dan tak akan pernah mengganggu akidah agama lain.

Di hadapan Presiden Soeharto dan para pejabat Orde Baru, Buya Hamka menegaskan secara lantang, “Tapi kalau ada usaha orang supaya kita berlapang dada, jangan fanatik, lalu tukarlah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu dengan tuhan yang maha tiga, atau berlapang dadalah dengan mengatakan bahwa Nabi kita adalah nabi palsu dan perampok di padang pasir, atau kepercayaan kita kepada empat kitab suci; Taurat, Zabur, dan Injil dan Al-Qur’an, lalu disuruh berlapang dada dengan mendustakan Al-Qur’an, maaf, seribu kali maaf, dalam hal ini kita tidak ada toleransi!” tegasnya.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka juga menyampaikan bahaya Kristenisasi ia sampaikan di mimbar-mimbar dakwah dan media massa. Melalui Majalah Panji Masyarakat, Buya Hamka membahas bahaya Kristenisasi, modernisasi dan sekularisasi. Dalam rubrik “Dari Hati ke Hati” yang dikelolanya, Buya Hamka juga menjelaskan soal prinsip toleransi dalam Islam.

Dalam setiap kesempatan khutbah, Buya Hamka yang prihatin dengan gurita kristenisasi yang sedang menggeliat ketika itu, bersuara lantang di hadapan umat agar mewaspadai sepak terjang kelompok Kristen yang berusaha memurtadkan kaum Muslimin. “Modernisasi bukan berarti westernisasi, dan bukan pula Kristenisasi,” demikian ketegasan yang sering diulang-ulang oleh Hamka ketika ditanya para wartawan. Dalam setiap khutbah di Masjid Al-Azhar, Jakarta, Hamka juga menegaskan bahwa misi zending Kristen yang sedang bergeliat pada masa itu telah dirasuki dendam Perang Salib untuk menghabisi umat Islam. “Kristen lebih berbahaya dari Komunis,” ujar Hamka.

Ketegasan Buya Hamka terhadap bahaya Kristenisasi kembali ia sampaikan di hadapan penguasa Orde Baru, ketika Buya menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam rapat dengan Presiden Soeharto pada 1975, Buya Hamka menerangkan di hadapan Presiden tentang fakta-fakta Kristenisasi yang bergeliat setiap hari di masyarakat, dengan berbagai bujukan dan iming-iming materi yang menggiurkan. Hamka juga menyampaikan keprihatinannya tentang berdirinya Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi, sebagai upaya terang-terangan dalam mengkristenkan masyarakat minang lewat cara pengobatan. Kepada Presiden Soeharto, Hamka mengusulkan agar rumah sakit itu dibeli dan diambil alih pemerintah agar bisa dikelola dengan semestinya. Soeharto setuju dengan usulan tersebut, bahkan dengan terang-terangan menyatakan tidak sukanya pada Kristenisasi tersebut.

Sikap tegas Buya Hamka yang melegenda adalah ketika ia mengeluarkan fatwa haram perayaan natal bersama. Pada saat itu di lingkungan birokrat yang sudah dikuasai jejaring Kristen memang digagas acara “Natal Bersama”. Buya sebagai Ketua MUI merasa perlu memberikan fatwa agar umat Islam tidak terjebak menggadaikan akidah hanya semata-mata takut dibilang tidak toleran. Saat berkhutbah di Masjid Al-Azhar, Buya Hamka mengingatkan kaum Muslimin, bahwa kafir hukumnya jika mereka mengikuti perayaan natal bersama. “Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah akidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik,” terang Hamka. “Ingat dan katakan pada kawan yang tak hadir di sini, itulah akidah kita!” tegasnya di hadapan massa kaum Muslimin.

Keteguhannya dalam memegang fatwa haramnya natal bersama inilah yang kemudian membuatnya mengundurkan diri dari Ketua Majelis Ulama Indonesia. Tak berapa lama setelah fatwa itu dikeluarkan, pada 24 Juli 1981, Buya Hamka wafat menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allahyarham Mohammad Natsir, teman karib seperjuangan yang menyaksikan detik-detik wafatnya Buya Hamka kemudian memanjatkan doa tulus bagi seorang pejuang dan pengawal akidah umat.

Semoga ALLAH TA'ALA mengampuni semua dosa dan kesalahan beliau, serta memasukkan beliau ke tempat yang terpuji di sisi-NYA. Aamiin.
--------------------
Oleh: Alan Ruslan Huban, Bidang Komunikasi Sosmed Lazis Dewan Da’wah, Wapemred Majalah Syi’ar Islam

http://www.islampos.com/antara-natal-tahun-baru-masehi-fatwa-buya-hamka-33841/

Oleh: Artawijaya

Editor Pustaka Al-Kautsar dan Dosen STID Mohammad Natsir Jakarta

http://www.islampos.com/buya-hamka-dan-sikap-tegasnya-terhadap-kristenisasi-33695/

0 komentar

Posting Komentar